Perlindungan Hak Moral dan Hak Ekonomi Pencipta

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) pada Rabu (30/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang Pengucapan Putusan Nomor 63/PUU-XIX/2021 yang dimohonkan oleh PT Musica Studios ini dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya. Pertimbangan hukum putusan dibacakan secara bergantian oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

 

Pengembalian Hak Cipta

Hakim Konstitusi Enny menyebutkan pengaturan pengembalian hak dalam norma Pasal 122 UU Hak Cipta merupakan wujud pengembalian hak ekonomi. Sebab dalam jangka waktu berlangsungnya perjanjian pengalihan hak cipta, penerima pengalihan telah mendapatkan nilai kemanfaatan, yang secara konstitusional pencipta juga telah memeroleh kesempatan serta manfaat yang sama dalam mencapai persamaan dan keadilan antara hak moral dan hak ekonomi seperti dijamin Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.

Lebih jelas Enny mengatakan pengembalian hak ekonomi yang semula belum diatur, bukanlah bentuk dari pelanggaran asas nonretroaktif. Karena perjanjian atas benda bergerak yang tidak berwujud hanyalah bagian dari perjanjian yang bersifat khusus, yang tidak dapat dipersamakan dengan perjanjian kebendaan pada umumnya. Oleh karena itu, keberlakuan norma Pasal 18 dan Pasal 30 UU Hak Cipta ini harus diletakkan dalam konteks norma tersebut memiliki sifat kekhususan.

Dengan kata lain, sambung Enny, pengalihan kembali karya cipta dan karya pertunjukan yang telah mencapai jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun sebagaimana ditentukan Pasal 18 dan Pasal 30 UU Hak Cipta menjadi wujud penegasan perlindungan hukum atas hak moral dan hak ekonomi pencipta dan pelaku pertunjukan. Pengaturan demikian tidak dimaksudkan untuk mengabaikan hak pembeli yang telah menerima nilai manfaat (nilai ekonomi) dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun perjanjian pengalihan.

“Oleh karena itu, dalil Pemohon yang mengaitkan norma Pasal 122 UU Hak Cipta yang memberlakukan surut perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu untuk dikembalikan kepada pencipta dengan batasan waktunya tersebut bukanlah merupakan bentuk kesewenang-wenangan negara. Substansi pasal a quo sejatinya merupakan bentuk pencegahan akibat pengalihan hak cipta dengan bentuk perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu yang dimaknai secara absolut oleh salah satu pihak dengan memanfaatkan kondisi yang tidak seimbang sebelum diberlakukan UU Hak Cipta. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan peralihan Pasal 122 UU Hak Cipta yang menurut Pemohon merugikan hak konstitusional Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.

 

Perlindungan Bagi Pencipta

Mahkamah selanjutnya mencermati dalil Pemohon terhadap ketentuan norma Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UU Hak Cipta yang menurut Pemohon menimbulkan multitafsir apabila dikaitkan dengan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU Hak Cipta sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.  Mahkamah mencermati secara saksama isu konstitusional yang didalilkan tersebut masih bermuara pada persoalan perjanjian pengalihan hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud.

Bahwa rumusan frasa "perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu" dalam Pasal 18 dan Pasal 30 UU Hak Cipta bukan untuk mengizinkan praktik pengalihan hak cipta. Akan tetapi memberikan perlindungan hukum yang seimbang antara pencipta yang telah mengalihkan hak cipta dengan penerima pengalihan tersebut yang telah menikmati nilai ekonomi atas pengalihan melalui jual putus. Hal ini, kata Enny, sejalan dengan maksud “jual putus” dalam Penjelasan Pasal 18 UU Hak Cipta mengenai perjanjian yang mengharuskan Pencipta menyerahkan ciptaannya melalui pembayaran lunas oleh pihak pembeli sehingga hak ekonomi atas ciptaan tersebut beralih seluruhnya kepada pembeli tanpa batas waktu, atau dalam praktik dikenal dengan istilah sold flat.

“Ketentuan Pasal 18 dan Pasal 30 UU Hak Cipta merumuskan pembatasan waktu 25 (dua puluh lima) tahun bagi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, agar hak ekonomi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan dapat kembali seperti semula. Setelah itu, produser fonogram dengan Pencipta atau Pelaku Pertunjukan dapat menyepakati kembali perjanjian dalam posisi yang setara demi mengatur hak dan kewajibannya berlandaskan iktikad baik untuk kemanfaatan bersama sesuai dengan ketentuan UU Hak Cipta,” terang Enny.

Sementara itu, sambung Enny, jika dikaitkan dengan substansi Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta yang pada prinsipnya menentukan perlindungan hak ekonomi bagi produser fonogram, yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi. Artinya, norma tersebut hanya mengatur mengenai jangka waktu pemberlakuan hak ekonomi produser fonogram. Sehingga penting untuk diketahui, hal-hal yang menjadi hak ekonomi bagi produser fonogram sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 24 ayat (2) UU Hak Cipta. Maka, perjanjian antara Produser Fonogram dengan Pencipta dan/atau Pelaku Pertunjukan yang sesuai dengan UU Hak Cipta tersebut sebentuk perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram dan bukan perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Dengan adanya perjanjian untuk melakukan fiksasi fonogram, maka Produser Fonogram mendapatkan pelindungan hak ekonomi sebagaimana ketentuan Pasal 24 ayat (2) UU Hak Cipta yang berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak fonogram difiksasi sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat 1 huruf (b) UU Hak Cipta.

“Oleh karena ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta memiliki norma yang berbeda dengan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 30 UU UU Hak Cipta, maka tidak terdapat kontradiksi pemahaman yang berujung pada multitafsir penerapan norma sebagaimana dalil Pemohon, serta tidak pula merugikan hak konstitusional Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum,” sebut Enny.


Baca juga:

PT Musica Studios Persoalkan Ketentuan Batas Waktu Hak Milik dalam UU Hak Cipta

PT Musica Studios Kurangi Pasal Pengujian UU Hak Cipta

DPR: Pencipta Seharusnya Mendapatkan Banyak Keuntungan Ekonomi

Piyu PADI Anggap Aturan Jangka Waktu Batas Hak Cipta Lindungi Pencipta Lagu

Hak Cipta di Mata Para Musisi

Marcell Siahaan: UU Hak Cipta Melindungi Pencipta dan Pelaku Pertunjukan

Perjanjian Jual Beli Putus dalam Pandangan Ahli Hukum dan Pelaku Industri Musik

Keterangan Ahli Belum Siap, Pemerintah Minta Tunda Sidang UU Hak Cipta

Hak Moral Melekat Abadi pada Diri Pencipta

Keterangan Tertulis Ahli Terlambat, Sidang Uji UU Hak Cipta Ditunda

Hak Cipta Melekat secara Eksklusif kepada Kreativitas Pencipta

Ahli Belum Siap dan Saksi Undur Diri, Sidang Uji Hak Cipta Ditunda

Kisah Pilu Pencipta Lagu Kenang Kontrak Kerja dan Royalti


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Tiara Agustina

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi