Pemohon Menyoal Kejahatan Farmasi Pertegas Alasan Permohonan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1669708515_ed43e3c702194b8b4be7.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) pada Selasa (29/11/2022). Rega Felix yang berprofesi sebagai advokat memohonkan uji Pasal 196 UU Kesehatan dalam Perkara Nomor 106/PUU-XX/2022. Sidang dengan agenda mendengarkan perbaikan permohonan ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan anggota Majelis Sidang Panel, yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.
Rega menyebutkan beberapa hal pokok yang telah disempurnakan pada permohonan pihaknya, yakni kewenangan MK dengan menambahkan PMK Nomor 2/2021, memperjelas kedudukan hukum secara lebih spesifik, memperkuat pokok permohonan tentang kerangka teoritis, dan beberapa hal dari pertanyaan yang dijawab dalam permohonan ini mengenai permasalahan apakah hukuman mati memiliki landasan moral dan konstitusional, apakah kejahatan farmasi merupakan extraordinary crime dan bagaimana negara menetapkannya, apakah MK berwenang menetapkan extraordinary crime dengan meningkatkan ancaman pidananya. Pemohon juga menjelaskan mengenai kejahatan farmasi merupakan kejahatan extraordinary. Selain itu Pemohon juga menyatakan kewenangan negara dalam menyelesaikan extraordinary crime tersebut dengan meningkatkan hukuman atas kejahatan tersebut.
“Pada bagian argumentasi moral hukuman mati, Pemohon menjabarkan landasan filosofis penerapannya serta dasar Putusan MK Nonor 3 dan 5/PUU-V/2007 serta Putusan MK 15/PUU-X/2012 yang pada intinya hukuman mati memiliki landasan moral dan konstitusional,” sebut Rega dalam sidang yang dihadirinya secara daring.
Baca juga: Menyoal Ringannya Sanksi Kejahatan Farmasi dalam UU Kesehatan
Kerugian Konstitusional
Atas perbaikan permohonan ini, Hakim Konstitusi Guntur mempertanyakan kepada Pemohon mengenai kerugian konstitusional yang belum terurai dengan jelas secara spesifik. Menurutnya, Pemohon hanya menyebutkan memiliki hak untuk hidup yang dilindungi UUD 1945. Berikutnya Guntur juga menggarisbawahi naskah perbaikan Pemohon tentang penting untuk mengetahui pendirian Mahkamah tentang criminal policy yang tepat terhadap sanksi pidana yang memiliki rumus. Karena menurut Guntur, hal tersebut merupakan ranah dari pembentuk undang-undang saat menormakan pasal tentang ketentuan sanksi pidana. Untuk itu, Guntur meminta agar Pemohon memperkuat alasan tersebut.
“Selain itu perlu juga Pemohon jelaskan apakah punya referensi bagaimana penjatuhan sanksi dengan tindak pidana tentang sediaan farmasi, apakah ada referensi dari negara lain yang menerapkan hukuman sebagaimana dikehendaki Pemohon. Sebab, ini bisa juga terjadi negara lain dan ini perlu juga dielaborasi. Saudara ingin membuat sanksi ini jadi lebih berat dilandaskan atas motif apa? Dalam bacaan saya belum ada motifnya, hanya yang terbaca meminta sanksi yang lebih berat,” jelas Guntur.
Pada sidang terdahulu, Pemohon menyebutkan Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena sediaan farmasi yang tersedia di masyarakat ternyata mengakibatkan kematian massal secara meluas sehingga perbuatan mencemari sediaan farmasi demikian sepatutnya dikategorikan sebagai kejahatan. Sebab, kejahatan yang berdampak multidimensional tersebut menyangkut rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, Pemohon menilai bahwa UU seharusnya menjadi alat pencegah dari kejadian yang tidak diinginkan dalam masyarakat, namun pasal a quo hanya memberikan sanksi ringan sehingga pelaku kejahatan terhadap sediaan farmasi tidak takut untuk melakukan perbuatannya, padahal dampak atas perbuatannya sangat masif dan menciderai rasa kemanusiaan. Rasa takut luar biasa di masyarakat telah secara aktual terjadi secara luas. Hal ini mempengaruhi Pemohon dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Rasa takut ini disebabkan obat-obat esensial yang umum beredar di masyarakat ternyata menjadi penyebab kematian anak-anak. Kejadian ini terlihat dari ditariknya obat-obatan berbentuk sirup dari peredaran, padahal obat-obat tersebut esensial bagi anak-anak.(*)
Penullis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi