Menyoal Independensi Hakim, Pemohon Uji UU MK Pertegas Kedudukan Hukum

Menyoal Independensi Hakim, Pemohon Uji UU MK Pertegas Kedudukan Hukum

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 57 angka 1 dan 2, dan Pasal 87 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK), pada Selasa (15/11/2022). Sidang perkara Nomor 103/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku advokat ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul.

Pada sidang kedua dengan agenda penyampaian perbaikan permohonan, Zico menyebutkan beberapa hal yang telah disempurnakan dalam permohonannya. Salah satunya adalah alasan mengenai pasal-pasal yang diujikan tidak nebis en idem sebab pada Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK kendati telah diujikan dinyatakan tidak dapat diterima sehingga dapat kembali diujikan ke MK. Berikutnya, sambung Zico, Pasal 87 huruf b UU MK belum pernah diujikan ke MK. Selanjutnya Pemohon juga telah mempertegas kedudukan hukum selaku advokat yang menangani perkara kekuasaan kehakiman. Sehingga apabila independensi hakim konstitusi terus digerus oleh DPR, Pemohon menilai akan alami banyak kerugian dari penafsiran Pasal 87 huruf b UU MK. “Untuk apa mengajukan uji materiil ke MK jika nantinya akan ditolak oleh hakim yang telah digenggam penguasa,” kata Zico.

Baca juga: Seorang Advokat Persoalkan Masalah Pergantian Hakim Konstitusi oleh DPR

Dalam sidang pendahuluan, Pemohon mengajukan permohonan provisi atas urgensi perkara yang diajukan ini untuk segera diputus karena berkaitan dengan independensi Hakim Konstitusi. Semakin lama perkara bergulir, tekanan politik dari DPR sebagai sesama lembaga tinggi negara akan mengakibatkan ketidakstabilan sistem hukum di Indonesia. Terlebih, saat ini DPR sudah menegaskan tidak akan menganulir penggantian Hakim Konstitusi Aswanto, sehingga menjadi penting agar tindakan DPR tersebut segera diadili oleh kekuasaan kehakiman, in casu Mahkamah Konstitusi. Permohonan provisi akan pemeriksaan sangat prioritas dan juga supaya Mahkamah menangguhkan segala tindakan yang bertujuan untuk mengganti Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dengan cara maupun prosedur di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 UU MK, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan ketetapan yang mengesahkan tindakan tersebut sebagaimana Pemohon mintakan dalam petitum provisi. Permohonan Pemohon sangatlah didasari pada alasan yang kuat, sifatnya non nobis solum, sed omnibus (not for us alone, but for everyone), karena independensi MK sebagai guardian of constitutional rights sedang menjadi pertaruhan. Sementara alasan pengujian permohonan, Pemohon menyebutkan Pasal 87 huruf b UU MK yang ditafsirkan lain telah menggerus kemerdekaan dan independensi MK. Dengan demikian, sebagai final interpreter of the constitution, MK harus menegakkan keadilan dengan telah terjadi pelanggaran hak-hak konstitusional melalui penafsiran lain dari Pasal 87 huruf b UU MK yang ditafsirkan lain oleh DPR dan menggerus kemerdekaan dan independensi MK.

Dalam permohonannya, Pemohon menjelaskan DPR secara terang benderang menyatakan mengganti Hakim Konstitusi Aswanto dengan Guntur Hamzah oleh karena murni pertimbangan politik, sebab Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR. Ini menunjukkan bagaimana intervensi politik ke dalam ranah hukum kekuasaan kehakiman. “It is called a “pure” theory of law, because it only describes the law and attempts to eliminate from the object of this description everything that is not strictly law: Its aim is to free the science of law from alien elements. This is the methodological basis of the theory.

Menurut Pemohon, tindakan DPR yang kemudian menafsirkan surat konfirmasi inilah yang kemudian dijadikan celah mengintervensi hakim konstitusi sehingga menggerus MK yang merdeka dan independen. Bagi DPR, mereka sebagai lembaga negara tidak terikat kepada pertimbangan hukum dalam Putusan MK sehingga kemudian menafsirkan sendiri surat konfirmasi tersebut untuk mengganti hakim sesuai keinginan mereka. Hal ini menurutnya akan menimbulkan preseden buruk karena di kemudian hari, lembaga yang mengajukan hakim konstitusi (MA, Presiden, dan DPR) akan bisa mengganti siapa pun hakim konstitusi kapan saja karena menggangap hakim konstitusi adalah “wakil” mereka. Oleh karena itu,  dalam petitum provisi tersebut Pemohon meminta agar MK agar menyatakan menangguhkan segala tindakan yang bertujuan untuk mengganti hakim konstitusi yang sedang menjabat dengan cara maupun prosedur di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 UU MK, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan ketetapan yang mengesahkan tindakan tersebut.

Sedangkan petitium dalam pokok permohonan, Pemohon memohon MK agar menyatakan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU 24/2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint). Menyatakan frasa “amar putusan” dalam Pasal 57 angka 1 dan 2 UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai memiliki kekuatan mengikat yang sama termasuk pula pertimbangan hukum. Selain itu, menyatakan Pasal 87 huruf b UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan lain dari yang termaktub dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 Paragraf [3.22] halaman 130 yakni hakim konstitusi yang sedang menjabat melanjutkan masa jabatannya tanpa mengenal periodisasi sehingga tidak dapat digantikan atau diberhentikan di luar dari ketentuan dalam Pasal 23 UU MK.

Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi