Menguak Tradisi Intelektual di “Universitas Konstitusi”
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1668059057_f229eeeb1096962744da.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) M. Guntur Hamzah memberikan sambutan peluncuran dan diskusi buku “Indonesian Constitutional Law” dan “Pemilihan Umum Demokratis” dalam ajang Indonesia International Book Fair (IIBF) 2022 di JCC, Senayan, Jakarta pada Rabu (9/11/2022). Guntur yang hadir secara luring mengatakan, MK sebagai lembaga peradilan yang diberikan mandat untuk mengawal tegaknya konstitusi, di tengah tugas dan pengabdian, MK selalu berupaya untuk menumbuhkan semangat dan etos akademik dengan banyak membaca, berdiskusi, dan menuliskan karya buku-buku ilmiah.
“Mahkamah Konstitusi sering kali disebut juga sebagai “Universitas Konstitusi” karena tingginya produktivitas para Hakim Konstitusi dan pegawainya dalam melakukan berbagai kegiatan serta aktivitas akademik, termasuk di dalam menerbitkan karya-karya ilmiah, baik berupa buku maupun artikel jurnal bereputasi nasional dan internasional. Hasilnya, kami di Mahkamah Konstitusi selalu bekerja di bawah atmosfer akademik dan budaya intelektualitas yang tinggi,” ujar Guntur di hadapan Hakim Konstitusi Saldi Isra, para akademisi serta pengunjung IIBF yang mengikuti kegiatan ini.
Guntur menyebutkan, dalam 3 (tiga) tahun terakhir ini, MK bekerja sama dengan Penerbit RajaGrafindo Persada berhasil menerbitkan 82 (delapan puluh dua) buku karya para Hakim Konstitusi, mantan Hakim Konstitusi, dan pegawai MK. Produktivitas ini tidak berhenti, semakin menjadi, bahkan justru bertambah di tengah datangnya pandemi Covid-19 di tahun 2020 dan 2021 yang lalu.
“Apabila ditambahkan dengan jumlah buku yang akan kami terbitkan di akhir tahun ini, maka jumlah keseluruhan buku akan menembus lebih dari 100 (seratus) buku,” jelas Guntur.
Guntur bertutur, ruang-ruang kerja MK akan dikelilingi oleh buku ilmiah karya hakim konstitusi, mantan hakim konstitusi, serta para pegawai. Guntur pun mengutip pernyataan Cicero yang mengatakan, “If you have a garden and a library, you have everything you need.”
“Mahkamah Konstitusi ataupun lembaga atau universitas bapak, ibu, dan hadirin sekalian, tidak akan kekurangan bahan referensi ketika menjalankan fungsi dan tugasnya karena pemikiran dan gagasannya telah tertuang di dalam karya ilmiah yang telah diterbitkan. Begitu pula maksud dari penerbitan buku oleh MK selama ini, yaitu agar juga dapat memberikan kontribusi berupa pemenuhan literatur di bidang hukum dan konstitusi serta peningkatan literasi bagi masyarakat luas,” ungkap Guntur.
Peluncuran Buku
Guntur menyebutkan peran Hakim Konstitusi Saldi Isra sebagai salah satu motor penggerak sekaligus motivator di MK agar terus dan terus menulis serta menghasilkan karya-karya ilmiah. Sebagai Dosen Pengajar, kata Guntur, Hakim Konstitusi Saldi Isra juga telah membimbing ratusan mahasiswa yang berhasil menyelesaikan studinya di tingkat sarjana, master, hingga doktor. Hingga saat ini, sambung Guntur, Hakim Konstitusi Saldi Isra telah melahirkan lebih dari 12 (dua belas buku), lebih dari 30 artikel jurnal, dan lebih dari 500 (lima ratus) tulisan di berbagai koran serta media cetak lainnya.
Pada kesempatan kali ini, ada 2 (dua) buku karya Hakim Konstitusi Saldi Isra yang diluncurkan dan didiskusikan. Pertama, buku “Indonesian Constitutional Law”, buku berbahasa Inggris yang ditulis Saldi Isra bersama dengan Pan Mohamad Faiz yang merupakan Asisten Ahli Hakim Konstitusi, yang juga menjadi Editor-in-Chief Jurnal Constitutional Review terbitan MK yang telah terindeks Scopus. Kedua, buku “Pemilihan Umum Demokratis” karya Saldi Isra Bersama Khairul Fahmi. Buku ini menjadi salah satu rujukan utama bagi para dosen, mahasiswa, dan peneliti ketika akan membahas dan menulis mengenai pemilu di Indonesia.
Berkaitan dengan jurnal, Guntur melanjutkan, sampai dengan hari ini hanya MK sebagai satu-satunya lembaga negara dan lembaga peradilan di Indonesia yang memiliki jurnal internasional di bidang hukum yang telah terindeks Scopus. “Ini juga menjadi salah satu bukti tambahan bahwa Mahkamah Konstitusi memang layak disebut sebagai “Universitas Konstitusi”, ”terang Guntur.
Di akhir sambutan, Guntur mengucapkan terima kasih kepada para pihak penyelenggara dan pendukung kegiatan ini, yakni Indonesia International Book Fair, Perpustakaan Nasional, IKAPI, Penerbit RajaGrafindo Persada, dan juga Advokat Konstitusi, suatu forum dan komunitas generasi muda yang giat melakukan kajian di bidang hukum dan konstitusi. Advokat Konstitusi ini juga kerap memberikan edukasi melalui platform media sosial terkait dengan isu-isu hukum dan konstitusi yang marak diperbincangkan oleh publik, salah satunya dengan melakukan berbagai kegiatan bedah buku.
“Saya berharap, kerja sama dan kolaborasi di antara kita semua dapat terus dilanjutkan, khususnya dalam menerbitkan karya tulis ilmiah, semata-mata untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kita bersama, sekaligus mendukung peningkatan budaya literasi bagi masyarakat Indonesia,” tegas Guntur.
Salayang Pandang Penulis
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, penulis buku yang baik tidak perlu memikirkan orang setuju atau tidak dengan apa yang ditulis. “Penulis yang baik itu dia tuliskan yang ada, silahkan pembaca kemudian menilai apa yang ditulis itu,” kata Saldi.
Menurut Saldi, banyak orang memiliki ide bermacam-macam di kepalanya, namun orang tidak mengetahui ide yang ada dalam kepalanya tersebut. Saldi berpesan agar jangan pernah berpikir sempurna karena sempurna merupakan otoritas Yang Maha Kuasa. Apa yang dikerjakan oleh manusia tidak akan pernah sempurna.
“Saya berterima kasih Prof. Guntur, Mas Faiz dan beberapa teman di kantor memiliki semangat yang sama seperti ini. Ini soal buku ini. Kami juga merasa berhutang kepada penerbit karena selalu mau bekerja sama dengan MK untuk menerbitkan karya-karya. Dan itu menjadi bahan bacaan yang dapat didistribusikan kepada kampus dan sekolah-sekolah,” ujar Saldi.
Selanjutnya Saldi menyampaikan selayang pandangnya terhadap kandungan buku. Saldi mengatakan, ketika UUD 1945 diubah pada 1999 sampai 2002 salah satu topik yang serius didiskusikan adalah bagaimana mendesain salah satu bangunan negara demokratis itu dengan mendesain pemilu agar lebih real di konstitusi. Kemudian muncul Pasal 22 UUD 1945 yang di dalamnya menentukan asas-asas penting pemilu demokratis.
“Kita menentukan asas pemilu demokratis itu dalam konstitusi RIS 1949 walaupun itu tidak pernah dilaksanakan karena tidak ada pemilu di bawah konstitusi RIS apalagi pelaksanaan konstitusi RIS itu dilakukan lebih kurang 8 bulan dari mulai disahkan sampai diganti dengan UUD sementara 1950. Dilaksanakanlah pemilu pertama pada tahun 1955. Ada dua pemilu ketika itu yakni pemilu untuk memilih anggota DPR dan pemilu untuk memilih anggota Majelis konstituante untuk mempersiapkan konstitusi baru. Jadi itu katanya pemilu 1955 itu pemilu pertama dan pemilu paling demokratis, itu ketika konstitusi kita belum diubah,” urainya.
Saldi melanjutkan, ketika memasuki era baru Pemilu 1999 sudah lebih demokratis meskipun orang berupaya membandingkan dengan pemilu 1955. Dalam Pasal 22E UUD 1945 disebutkan prinsip-prinsip dasar pemilu yang menurut Saldi masih memerlukan proses pemaknaan lebih lanjut. Hal ini karena konstitusi tidak begitu detail mengatur suatu sistem pemungutan suara, sehingga kemudian dituangkan ke dalam UU Pemilu. Dulu, ada UU Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, ada juga UU Pemilu Presiden dan wakil Presiden. Sekarang menjadi UU Pemilihan Umum. Selain itu, ada UU Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
“Sadar atau tidak pemaknaan pemilu demokratis di Indonesia itu kemudian tidak monopoli dimaknai oleh pembentuk UU melalui rumusan UU. MK juga berkontribusi memberikan pemaknaan tentang pemilu yang demokratis itu,” tandas Saldi.
Tradisi MK
Sementara itu, Pan Mohamad Faiz selaku penulis buku “Indonesian Constitutional Law” mengatakan, menulis, membaca dan berdiskusi merupakan suatu tradisi atau keseharian di MK. Terkait dengan penulisan buku berbahasa Inggris, Faiz menegaskan bahwa buku ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti Indonesia dan peneliti asing.
Faiz mengungkapkan, ia dan Hakim Konstitusi Saldi Isra merasa prihatin karena para pakar internasional mengambil studi dan kajiannya bukan di Indonesia tetapi negara Asia misalnya Mongolia. Padahal kalau dibandingkan, dengan Mongolia, Indonesia lebih memiliki pengalaman dan laboratorium penelitian soal pemilu, soal konstitusionalisme dan sebagainya.
“Tetapi mereka kurang melirik. Nah kami bersepakat dan mendiskusikan kita banyak karya tetapi tidak ada yang berbahasa internasional. Sehingga bagi mereka tidak mungkin merujuk Bahasa Indonesia kalau mereka tidak mengerti Bahasa Indonesia, akhirnya kami memberanikan diri meskipun buku ini satu kompilasi yang sudah dipresentasikan dalam konferensi internasional, jurnal internasional yang kemudian diramu dan berharap ini menjadi salah satu rujukan bagi internasional scholar ataupun kita semua dalam menulis jurnal maupun buku berbahasa inggris,” ungkap Faiz.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi