Kewenangan MK, Pandemi Covid-19, dan Hak Konstitusional Warga Negara

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah 43 mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (HTN-HAN FH Unhas), Makassar hadir ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka program studi lapangan ke beberapa lembaga negara di Ibu Kota Jakarta. Para mahasiswa didampingi Guru Besar HTN-HAN Achmad Ruslan dan dan Dosen FH Unhas Muhammad Zulfan Hakim, diterima oleh Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dan Peneliti MK Mohammad Mahrus Ali di Aula Lantai Dasar Gedung 1 MK pada Rabu (10/8/2022).

Guntur dalam sambutannya bercerita tentang awal mula didirikannya Prodi HTN-HAN Unhas yang diliputi berbagai proses dan kajian. Pasalnya, program studi ini didirikan sebagai salah satu pengejawantahan dari penerapan nilai-nilai reformasi birokrasi yang diharapkan berskala internasional. Sehingga diperlukan sumber daya manusia yang kompatibel dan beresonansi menjadi generasi unggul. Singkatnya, untuk mencapai hal demikian Guntur berpesan agar para mahasiswa Unhas dapat menerapkan beberapa prinsip agar dapat menjadi manusia unggul.

“Ada beberapa prinsip yang harus diterapkan, yaitu INDEP. INDEP merupakan akronim dari Integritas, Disiplin, Dedikasi, dan Profesional. Jadi, kita harus terus meng-upgrade diri dengan meningkatkan nilai diri,” kata Guntur.

Selanjutnya, para mahasiswa menyimak materi yang disampaikan Peneliti MK Mohammad Mahrus Ali mengenai “Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara di Masa Pandemi”. Terkait dengan kewenangan MK dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan Pandemi Covid-19 ini, Mahkamah melalui Putusan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 telah memberikan pendapat sehubungan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang dikeluarkan pada 31 Maret 2020 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada 18 Mei 2020.

Pasalnya, sambung Mahrus, ketentuan tersebut dikeluarkan Presiden atas dasar kegentingan memaksa yang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945. Sejak disahkannya Perpu tersebut menjadi undang-undang, terdapat delapan permohonan pengujian formil maupun materiil terkait norma tersebut ke MK. Sebagaimana kita amati, saat pandemi terjadi banyak sekali dampak yang ditimbulkannya, di antaranya pemutusan hubungan kerja (PHK) pada berbagai sektor usaha, dan terhentinya kegiatan ekspor dan impor yang berdampak pada sektor keuangan sehingga profitabilitas dan solvabilitas perusahaan terus menurun.

Kemudian terhadap permohonan pengujian mengenai penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tersebut, MK menyatakan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Sebab pada masa pandemi, partisipasi publik tidak dapat dilakukan secara langsung karena keterbatasan-keterbatasan. Oleh karenanya, partisipasi publik secara konvensional sebagaimana dimintakan oleh Pemohon pada perkara tersebut tidak relevan dipersoalkan saat masa Covid-19. Maka, Mahkamah menyatakan pengujian formil yang diajukan oleh para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Hak Konstitusional Warga Negara

Pada masa awal pandemi Covid-19, MK tetap melakukan tugasnya dalam mengawal konstitusi dan hak konstitusional warga negara melalui persidangan jarak jauh. MK tidak dengan serta merta menghentikan pelayanan dan bahkan MK semakin bergiat melakukan persidangan daring dengan pemanfaatan smart board mini court room yang terdapat pada 53 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia. Demikian jawaban yang diberikan Mahrus terhadap pertanyaan dari Khairina Amalia yang menanyakan keberadaan persidangan di MK pada masa pandemi yang terkait dengan perjuangan hak konstitusional warga negara.

Berikutnya Ananda Faturrahman mempersoalkan kewenangan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara yang mungkin saja terjadi antara MK dengan lembaga lainnya. Mahrus pun menganalogikan hal ini dengan uji Undang-Undang MK yang diuji dan disidangkan oleh MK. Atas hal ini Mahrus menerangkan bahwa MK berdasarkan hukum acaranya tidak dapat menolak setiap perkara yang dimohonkan padanya, termasuk tentang diri MK sendiri. Catatan yang perlu dipahami adalah atas apapun dari sebuah norma dapat diajukan ke MK, selama terdapat hak konstitusional warga negara yang dinilai dirugikan akan adanya suatu produk undang-undang tersebut. Sementara jika suatu waktu terdapat warga negara yang mengajukan persoalan sengketa kewenangan lembaga denga MK, maka MK pun tidak dapat menolaknya.

“Justru ini ujian kenegarawan bagi MK untuk menguji norma tentang dirinya. Hal yang harus dicermati dalam sengketa kewenangan lembaga negara ini adalah sengketa kewenangan. Jadi, jika ada kewenangan MK yang beririsan dengan lembaga lain, hal itu dapat saja dilakukan walaupun hingga saat ini hal demikian belum ada. Dengan keterbatasan kewenangannya, mungkin akan kecil kemungkinan hal demikian terjadi. Tetapi jika pun ada, maka MK dapat saja menguji tentang dirinya,” jawab Mahrus.

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi