Arief Hidayat: Negara Dapat Awasi Media Sosial

 

DENPASAR, HUMAS MKRI – Media sosial (medsos) kini menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, negara sebagai pihak berwenang dapat melakukan pengawasan terhadap media sosial. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi pembicara dalam kuliah umum bertajuk “Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Menjaga Kedaulatan Hukum Konstitusi dan Aspirasi rakyat”. Kegiatan tersebut digelar di Universitas Mahasaraswati (UNMAS), Denpasar, Bali, pada Jumat (5/8/2022) pagi.

The founding fathers saat merumuskan Pasal 33 UUD 1945 mengatakan bahwa semua yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pada saat itu, the founding fathers baru memikirkan sumber daya alam sebagai yang menguasai hajat hidup orang banyak. Tapi saat ini, bukan hanya masalah sumber daya alam yang disebut menguasai hajat hidup orang banyak. Listrik ternyata juga menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara. Termasuk juga media sosial menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus diawasi oleh pihak berwenang. Oleh karena Kominfo dapat melakukan take down terhadap ujaran kebencian pada media sosial, dengan cara memblokir. Kalau tidak, maka ini akan sangat berbahaya untuk keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Arief yang menyajikan materi “Meneguhkan Kembali Tujuan dan Visi Negara di Era Society 5.0”.

Arief juga menerangkan gambaran peradaban manusia. Dari peradaban yang sangat sederhana yang disebut dengan hunting society beralih pada agrarian society. Kemudian terjadinya revolusi industri dengan  ditemukan mesin uap, listrik dan lainnya. Bertahun-tahun kemudian menuju pada information society dengan ditemukan komputer dan sebagainya, hingga peradaban saat ini yang disebut era 5.0 atau super smart society yang mengalami perkembangan sungguh luar biasa.

“Seperti dilakukan MK sekarang yang tengah mengembangkan teknologi digital. Tapi apakah semua bidang kehidupan akan digantikan dengan teknologi digital? Malah pada era 5.0 sekarang, manusia akan digantikan oleh robot. Ternyata tidak. Semuanya harus tetap berbasis pada human being,” tegas Arief.

Lebih lanjut, Arief menjelaskan bahwa bagaimanapun tetap ada sisi positif dan negatif teknologi informasi. Sisi positifnya sangat terasa pada era pandemi. Walaupun orang tidak bisa bertemu secara fisik, teknologi menyebabkan dibutuhkannya pertemuan daring. Bahkan hingga kini, Mahkamah Konstitusi masih melakukan persidangan daring. Sedangkan sisi negatif teknologi, lanjut Arief, banyak yang tidak bertanggung jawab melalui penggunaan media komunikasi seperti wa, twitter, instagram dan lainnya. Muncul suatu era yang disebut post-truth. Sesuatu yang tidak benar, namun diulang-ulang di media sosial, maka itu akan menjadi kebenaran. Menurut Arief, ujaran kebencian dan narasi negatif yang bertujuan memecah belah bangsa banyak berseliweran di media sosial. Belum lagi hal tersebut banyak dibagikan dan disebarluaskan tanpa ada cek kembali.

VUCA

Berikutnya, Arief menerangkan konsep VUCA yang merupakan istilah di dunia militer tahun 1990-an. Konsep ini menurut Arief merupakan gambaran masyarakat pada era 5.0 seperti sekarang. VUCA adalah singkatan dari V (Volatility), U (Uncertainty), C (Complexity), A (Ambiguity). Volatility artinya perubahan yang serba cepat. Dalam masyarakat yang dinamis, berubah secara cepat dan sulit diprediksi, tidak terukur, maka dibutuhkan visi, tujuan, niat yang baik.

Selanjutnya, terang Arief, Uncertainty dalam VUCA dapat diartikan sebagai ketidakpastian. Era sekarang banyak ketidakpastian, sehingga dibutuhkan kehati-hatian. Oleh karena itu pemimpin saat ini harus pro-aktif, berpikir out of the box, harus mampu memprediksi situasi ke depan. Sedangkan Complexity dalam VUCA bermakna kompleksitas, situasi yang rumit. Menurut Arief, situasi masyarakat masa sekarang sangat rumit, tidak bisa diselesaikan secara framentaris. Ini semua nantinya akan berpengaruh pada pembuatan hukum, perencanaan hukum, politik hukum dan sebagainya.  

Kemudian Ambiguity dalam VUCA, ungkap Arief, memiliki makna sebagai realitas yang kabur. “Oleh karena itu kita harus fleksibel, luwes, namun berarti menggadaikan diri. Pikiran-pikiran yang out of the box adalah pikiran yang luwes,” kata Arief.

Nota Kesepahaman

Dalam kesempatan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menyaksikan prosesi penandatangan nota kesepahaman antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan UNMAS. Penandatanganan nota kesepahaman dilakukan oleh Rektor  UNMAS I Made Sukamerta dengan Sekjen MK M. Guntur Hamzah yang hadir secara daring dari Makassar. Nota kesepahaman tersebut bertujuan untuk dan demi tercapainya peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara dan mutu pendidikan tinggi hukum.

Rektor UNMAS I Made Sukamerta dalam sambutannya, menyambut baik kedatangan hakim Konstitusi Arief Hidayat untuk memberikan kuliah umum. “Hari ini kami kedatangan tamu yang sangat luar biasa, Yang Mulia Hakim Konstitusi Prof Dr Arief Hidayat. Kami atas nama lembaga sangat berterima kasih diberikan kesempatan melakukan MoU dengan MK dan atas kehadiran Yang Mulia Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang akan memberikan kuliah umum yang sangat langka bagi para mahasiswa Universitas Mahasaraswati,” kata I Made Sukamerta.

Dikatakan Sukamerta, materi yang disampaikan Arief Hidayat menjadi hal yang sangat bermanfaat bagi para mahasiswa karena disampaikan secara langsung oleh salah seorang Hakim Konstitusi. “MK adalah salah satu lembaga tinggi negara yang bertugas mengawasi semua produk undang-undang supaya sesuai dengan Konstitusi dan Pancasila,” ujar Sukamerta yang juga menyebutkan sejumlah kewenangan MK lainnya seperti memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu dan memutus terkait pemakzulan Presiden.

Sementara Kepala Bagian Humas dan Kerjasama Dalam Negeri MK Fajar Laksono menyampaikan, penandatanganan nota kesepahaman (MoU) MK dengan Unmas adalah MoU ke-265 yang sudah ditanda tangani MK bersama dengan mitra MK di seluruh Indonesia.

“Tadi kita saksikan bersama, penandatanganan dilakukan secara elektronik. Bahkan dengan menggunakan materai elektronik. Karena memang MK dalam 2-3 tahun terakhir sedang melakukan transformasi digital. Seluruh kegiatan di MK, meskipun belum sepenuhnya, sudah berbasis digital. Sehingga memang Pak Sekjen MK memberikan arahan bahwa proses transformasi digital ini harus dilakukan,” jelas Fajar yang hadir secara luring mewakili Sekjen MK M. Guntur Hamzah.  

Fajar mengatakan, setelah diadakan MoU MK-Unmas berarti ada ikatan atau ‘benang merah’ antara MK dengan Unmas seperti halnya mitra-mitra MK yang lainnya. “Kenapa MK selalu antusias untuk mengajak kerja sama dengan berbagai pihak, berbagai kalangan di negara ini? Karena sebagai Pengawal Konstitusi, MK tidak bisa sendirian dalam mengawal, menegakkan Konstitusi. Oleh karena itu butuh kerja sama, kolaborasi, sinergitas dengan berbagai kalangan, terutama teman-teman di kampus. Hari ini bertambah lagi mitra MK untuk mendukung, meningkatkan budaya konstitusional warga negara agar semakin kuat,” tandas Fajar. (*)

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Lulu Anjarsari P.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi