Arief Hidayat Ajak Mahasiswa UMSU Tanamkan Makna Berhukum dengan Sinar Ketuhanan
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1657950885_b29fdb0a0895c9ce6ab7.jpg)
MEDAN, HUMAS MKRI – Konstitusi beberapa negara yang yang mayoritas penduduknya beragama Islam seperti Turki, Pakistan, dan Indonesia, masing-masing memiliki perbedaan dalam penerapan ideologi bernegara. Dari ketiga negara ini, hanya konstitusi Indonesia yang menerapkan nilai universal agama dan keyakinan yang dijalankan oleh masyarakatnya dalam menerapkan ketentuan hukum. Konkretnya saja, sembilan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kepercayaan berbeda-beda, meski mayoritas hakim konstitusi beragama Islam namun dalam membuat putusan selalu disinari oleh Ketuhanan Yang Maha Esa yang dijalankan sesuai dengan keyakinan masing-masing. Demikian sepenggal kalimat yang diserukan Hakim Konstitusi Arief Hidayat kepada civitas akademika yang hadir mengikuti kuliah umum bertema “Meningkatkan Pemahaman Hak-Hak Konstitusi Warga Negara” yang digelar di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) pada Jumat (15/7/2022).
“Penting mengangkat nilai universal dari heterogenitas masyarakat Indonesia, termasuk keragaman keyakinan yang dijalankan penduduknya. Apabila dikaitkan dengan hukum, maka tidak dibenarkan menjadikannya sebagai komoditi atau diperdagangkan. Sebab, hukum tidak boleh dijadikan objek. Untuk itu, mari jalani hukum dengan disinari oleh Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana dijalankan oleh para hakim konstitusi dalam pelaksanaan hukum di Indonesia,” sampai Arief dalam kegiatan yang dihadiri Rektor UMSU Agussani, Dekan Fakultas Hukum UMSU Faisal, dan pimpinan beserta para mahasiswa UMSU.
Melanjutkan paparan, Arief menyebutkan ketiga negara tersebut memiliki kesamaan dengan Indonesia yakni berpenduduk mayoritas muslim namun berbeda dalam penerapan ideologi negaranya. Misalnya Turki, konstitusi negara ini melandaskan ideologi dengan memisahkan antara kehidupan bernegara dengan agama. Meski mayoritas berpenduduk muslim, Turki memilih konsep sekuler dalam menjalankan kehidupan bernegara. Sementara Pakistan, sambung Arief, konstitusi negara ini mengintegralkan satu agama mayoritas yakni Islam sebagai landasan kehidupan bernegaranya. Sedangkan Indonesia, memilih menyinergikan keberagaman agama dan keyakinan masyarakatnya yang sangat religius dalam kehidupan bernegara.
“Sinergisitas dan nilai universal dari keyakian yang ada di Indonesia itulah yang diangkat menjadi satu landasan bernegara termasuk berhukum sebagaimana tercantum pada Pancasila,” jelas Arief.
Mengatur Seluruh Aspek Kehidupan
Masih berkaitan dengan landasan berhukum yang disinari Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Arief mengajak para peserta kuliah umum untuk memahami konsep tentang kekhasan konstitusi di Indonesia. Dalam konstitusi tersebut diatur seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, mulai dari politik, hukum, sosial, ekonomi, dan lainnya. Oleh karena itulah kemudian para hakim konstitusi yang ada di MK dalam memeriksa dan memutus permohonan pengujian undang-undang, melingkupi semua pembahasan berbagai pengujian norma yang mengatur banyak aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.
Senada dengan hal yang dilakukan oleh para hakim konstitusi dalam menangani berbagai perkara pengujian undang-undang ini, Arief menarik ilustrasi pada perjuangan pendiri bangsa pada masa awal kemerdekaan dalam merumuskan dasar negara. Para pendiri bangsa yang tergabung dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, merupakan potret keberagaman masyarakat Indonesia. Di dalamnya terdapat tokoh-tokoh Islam misalnya dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pada saat menuangkan pemikirannya tentang konsep bernegara, para tokoh Islam tidak serta merta memaksakan diri menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Sebaliknya, mereka lebih memilih mewadahi saudara-saudara dari timur Indonesia yang berkeyakinan Kristen dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Ideologi yang dimunculkan tersebut didasarkan pada beragamnya suku, ras, agama, dan etnis di Indonesia pada masa itu. Bahkan, sambung Arief, keberagaman tersebut pun masih dapat disaksikan oleh para generasi muda yang melihat bentangan multikulturalnya kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, Arief mengajak para mahasiswa FH UMSU dan seluruh peserta kuliah umum untuk kembali mempelajari proses dari risalah pembentukan UUD 1945.
“Teladan dari mereka sangat patut diimplementasikan dalam kehidupan sekarang ini, utamanya meneladani bagaimana cara mereka bermusyawarah untuk membuat keputusan yang sangat penting bagi bangsa demi menjaga keutuhan bangsa yang hingga kini masih dapat kita saksikan dan kita selenggarakan dalam sebuah pemerintahan Indonesia,” ajak Arief pada seluruh peserta kulliah umum yang dipandu oleh Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono sebagai moderator.
Peningkatan Kerja Sama Lembaga
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam sambutan kegiatan menuturkan pelaksanaan kembali kerja sama yang telah terjalin sejak lima tahun antara MK dan UMSU ini perlu ditingkatkan dalam sebuah inovasi kerja sama. Salah satunya dengan memperbarui bentuk nota kesepahaman yakni membubuhi tanda tangan digital pada sebuah nota kesepahaman yang tidak dibatasi oleh durasi waktu. Artinya, kata Guntur, melalui kerja sama ini kedua lembaga akan semakin membersamai untuk bertumbuh meningkatkan nilai-nilai budaya sadar berkonstitusi bagi seluruh lapisan masyarakat.
“Dengan demikian, kerja sama ini pun akan kian memudahkan MK dalam kiprahnya untuk mewujudkan negara demokratis berdasarkan hukum dalam naugan Pancasila karena perguruan tingga telah menjadi mitra intelektual MK dalam menyebarluaskan keberadaan lembaga beserta fungsi dan kewenangannya,” sampai Guntur.
Dengan diselenggarakannya kuliah umum pada hari ini, Guntur mengatakan hal demikian tidak lain sebagai wujud dari nota kesepahaman yang dikonkretkan oleh masing-masing lembaga. Dalam hal ini, MK menghadirkan para hakim konstitusi, sementara UMSU memfasilitasi para mahasiswa untuk mendapatkan ilmu dari para hakim konstitusi dalam ruang diskusi terbuka bagi kalangan akademik.
Pengaruh Hakim Konstitusi
Rektor UMSU Agussani dalam sambutan kegiatan menyebutkan komitmen UMSU dan MK terlihat dari upaya setiap pihak untuk terus berupaya memberikan perkembangan keilmuan bagi seluruh mahasiswa di UMSU. Bahkan diakui oleh Agussani, kehadiran para hakim konstitusi pada berbagai kuliah umum yang diselenggarakan telah membawa pengaruh besar bagi perkembangan di universitas, khususnya pula bagi Fakultas Hukum UMSU.
“Salah satunya terhadap akreditasi Program S2 Magister Ilmu Hukum UMSU yang telah meraih nilai Akreditasi A dan baru-baru ini UMSU pun telah melakukan pengembangan jenjang pendidikan dengan mendirikan Program S3 di FH UMSU yang tidak lain juga merupakan andil dari keberadaan para hakim konstitusi yang selalu memberikan dorongan bagi kemajuan UMSU,” kata Agussani.
Pada kegiatan ini, Arief juga menyaksikan pelaksanaan penandatanganan nota kesepahaman antara MK dengan UMSU yang diselenggarakan di Auditorium Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Penandatanganan ini dilakukan oleh Rektor UMSU Agussani dan Sejen MK M. Guntur Hamzah dengan membubuhkan tanda tangan digital dari masing-masing lembar elektronik nota kesepahaman MK dan UMSU.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi