MK Jalin Kerja Sama dengan Uniska Kediri
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1656177148_01fd16911c27c2b329c7.jpg)
KEDIRI, MKRI – Dalam rangka meningkatkan pemahaman hak konstitusional warga negara serta mutu pendidikan tinggi hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) menjalin kerja sama dengan Universitas Islam Kadiri (Uniska) Kediri. Penandatanganan nota kesepahaman tersebut berlangsung pada Sabtu (25/6/2022) siang di Kampus Uniska, Kediri. Penandatanganan dimulai oleh Sekjen MK M. Guntur Hamzah dan dilanjutkan oleh Rektor Uniska Ali Maschan Moesa.
“Tanda tangan Mou (Memorandum of Understanding/nota kesepahaman) ini adalah tanda tangan yang ke-260 yang sudah dilaksanakan MK. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kami menggunakan tanda tangan elektronik atau digital. Sehingga kalau tadi tanda tangan Mou ditampilkan di layar ini, melalui smartphone tinggal scan, Mou itu langsung pindah ke smartphone Ibu dan Bapak. Inilah pentingnya menggunakan teknologi informasi,” kata Guntur saat memberikan kata sambutan.
Guntur menjelaskan bahwa saat ini Mahkamah Konstitusi sudah menerapkan Sistem Peradilan Berbasis Elektronik. “Sepanjang bisnis proses kita ini menggunakan kertas, maka sepanjang itu pula penggunaan teknologi elektronik menjadi objek digital semua. Sehingga semuanya transparan, akuntabel,” ucap Guntur.
Di sisi lain, Guntur tetap menekan pentingnya keadilan, baik secara teoritis maupun penerapannya. Termasuk para hakim konstitusi yang melakoni pentingnya keadilan dalam menjalankan tugasnya. Kehadiran Mahkamah Konstitusi senantiasa mengusung isu keadilan. Seorang pakar bernama Michael J. Sandel dalam bukunya “What’s The Right Thing To Do” menyebut bahwa sejatinya keadilan ada tiga sisi, yaitu kebebasan (freedom), kesejahteraan (welfare), dan kebijaksanaan (wisdom).
Kearifan Lokal
Sementara itu, Ali Maschan Moesa menyampaikan pentingnya implementasi keadilan. Menurut Ali, orang yang sering melanggar hukum justru orang yang mengerti hukum. Namun orang yang memegang teguh local wisdom atau kearifan lokal, kecenderungannya tidak melanggar hukum.
“Keadilan memang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Apapun dan kapanpun keadilan harus ditegakkan,” ujar Ali.
Dalam kesempatan itu, Ali mengucapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Mahkamah Konstitusi dengan terselenggaranya penandatangan nota kesepahaman MK dengan Uniska serta mengadakan seminar nasional.
Pencantuman Pemilu dalam Konstitusi
Acara berlanjut dengan Seminar Nasional “Pemenuhan Hak Politik Warga Negara Dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah”. Hadir secara daring, Hakim Konstitusi Saldi Isra yang memberikan ceramah kunci dan menerangkan mengenai pencantuman soal pemilu dalam Konstitusi.
“Salah satu yang membanggakan dan pencapaian yang luar biasa dari para pengubah UUD 1945, bagaimana mereka mencantumkan secara eksplisit soal pemilu dalam Konstitusi. Kenapa saya katakan ini sebagai pencapaian luar biasa? Karena sebelumnya, pada teks UUD 1945, sama sekali kita tidak menemukan secara eksplisit soal pemilu, bagaimana pemilu itu dilaksanakan,” terang Saldi.
Saldi melanjutkan, pada masa orde baru ada 460 anggota DPR di Indonesia, tapi 100 anggota DPR di antara 460 anggota DPR bukan dipilih berdasarkan hasil suara dalam pemilu. “Ini menjadi kritik banyak orang di masa itu,” ujarnya.
Lebih lanjut Saldi menerangkan perubahan UUD 1945, di antaranya tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945, sedangkan bagian Penjelasan UUD 1945 dihapus. Hal lain tetap mempertahankan sistem presidensiil.
“Kita tahu ada dua model sistem pemerintahan yang sangat umum yaitu sistem parlementer dan sistem presidensiil. Para pengubah Konstitusi bersepakat mempertahankan sistem presidensiil. Karena Indonesia pernah mengalami trauma praktik sistem parlementer dari tahun 1945-1959. Pemerintahan jatuh bangun, terus berganti, tidak ada kepastian, saling cakar antara parpol, sehingga para pengubah Konstitusi menegaskan untuk menerapkan sistem presidensiil di Indonesia,” urai Saldi.
Living Constitution
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyampaikan penjelasan mengenai Living Constitution yang dimaknai bahwa Konstitusi seharusnya ditafsirkan dengan menyesuaikan perkembangan masyarakat (living tree/organism). Demikian Daniel mengutip pendapat pakar, Ruth Bader Ginsburg.
“Hal ini penting, karena itu MK sebagai Penafsir Konstitusi seringkali menghadapi dengan kasus-kasus konkret, dimana MK harus mengambil keputusan,” ucap Daniel.
Berikutnya, Daniel menguraikan bahwa Konstitusi negara adalah hukum tertinggi dan paling penting di dalam suatu negara. Konstitusi merupakan sumber bagi seluruh undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya di suatu negara. Dalam konteks supremasi konstitusi (constitutional supremacy), segala keputusan dan tindakan apa pun harus sesuai dengan Konstitusi. Selain itu Konstitusi bersifat mengikat bagi semua organ negara beserta warga negaranya.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi, lanjut Daniel, disebutkan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Dalam menjalankan tugasnya, kata Daniel, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD. Kemudian memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus sengketa hasil pemilu dan wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan perbuatan melanggar hukum.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P
Source: Laman Mahkamah Konstitusi