Tiga Hakim Konstitusi Bicara Demokrasi, Hoaks, dan Media Sosial

DENPASAR, HUMAS MKRI – Tiga Hakim Konstitusi yakni Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi menjadi pemantik pada sesi diskusi “Dinamika Negara Hukum Demokratis Pasca Perubahan UUD 1945” dalam Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) pada Kamis (19/5/2022) malam di Denpasar, Bali. Kegiatan yang digelar secara daring dan luring ini terselenggara atas kerja sama MPR RI dengan APHTN-HAN.

Pada kesempatan itu, Ketua MK Anwar Usman menyatakan biaya pemilu legislatif lebih mahal daripada pemilu presiden. "Perlu dipahami, pemilihan presiden dari sebelumnya dipilih MPR menjadi pemilihan langsung, digulirkan saat reformasi lalu dan diakomodir dalam perubahan UUD 1945," kata Anwar.

Menurut Anwar, pemilu presiden merupakan sebagian proses demokrasi. Adapun proses demokrasi lainnya adalah pemilu legislatif, dengan variasi pemilihan yang lebih beragam, karena ada pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Oleh sebab itu, biaya pemilu legislatif menjadi lebih besar dibandingkan pilpres.

Di sisi lain menurut Anwar, biaya demokrasi itu adalah konsekuensi demokrasi yang lazim di berbagai dunia. "Di seluruh dunia pemilu memang sistem berbiaya tinggi karena menjadi hak rakyat yang memutuskan. Riset LIPI beberapa waktu lalu menunjukkan hampir 80 persen menghendaki pilpres tetap langsung," terang Anwar.

Selain itu, Anwar menyoroti banyaknya hoaks dalam pemilu. Anwar prihatin atas adab politik yang tidak sejalan dengan kultur Timur yang penuh kesantunan.
"Hampir tidak ada satu pun yang tidak terimbas dari sosial media yang begitu masif," ucap Anwar.

 
 

Ancaman Media Sosial

Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang juga bertindak sebagai pemantik pada diskusi ini menilai media sosial bisa mengancam keberlangsungan bangsa. Hal itu, kata Arief, bisa terjadi jika media sosial dipenuhi nafsu, ambisi, amarah, dan minus tanggung jawab.

"Menjaga Indonesia dan Pancasila memang tidak mudah. Seiring saat ini dengan perkembangan zaman muncul banyak tantangan. Era sekarang adalah era post truth, fast truth  yang merupakan ujaran-ujaran yang menjadi kebenaran semu," kata Arief Hidayat.

Menurut Arief, kemajuan teknologi yang luar biasa cepat melahirkan kondisi tidak mudah. Keberadaan media sosial menjelma menjadi kekuatan baru di mana-mana dan memengaruhi sistem masyarakat dan negara. "Kekuatan media sosial dapat mengubah bangsa ini," ujar Arief.

Media sosial, ungkap Arief, merupakan sarana interaksi modern yang mendukung politik partisipatif. Interaksi telah menjadi kekuatan kontrol baru dalam kebijakannya. Dalam terminologi buruk, media sosial mengancam problem serius jika digunakan penuh dengan nafsu, ambisi, amarah, dan minus tanggung jawab. “Media sosial melemahkan kohesivitas. The death of expertise, kita harus bangkit," tegas Arief.

Arief mengingatkan, Indonesia adalah negara religius welfare state, bukan negara welfare state seperti negara Barat yang sekuler. "Indonesia negara besar yang lahir dari berkah besar yang didirikan oleh orang-orang yang bertujuan besar untuk mempertahankan dan merawat NKRI berpegang pada komitmen bangsa ini," kata Arief.

Oleh sebab itu, Arief meminta bangsa Indonesia kembali memegang teguh Pancasila. "Ontologi Indonesia adalah negara persatuan. Ini dicapai dalam cara-cara demokrasi, bukan pada demokrasi lain. Apalagi semata-mata menjiplak ala demokrasi Barat. Nilai demokrasi harus dikandung dalam Pancasila untuk menjaga Indonesia dan Pancasila," pungkas Arief Hidayat.


Over Regulasi

Hakim Konstitusi Saldi Isra juga hadir sebagai pemantik pada sesi diskusi ini juga memaparkan peran media sosial dalam proses demokrasi. Saldi mengambil contoh kemenangan calon presiden Filipina Ferdinand “Bongbong” Romualdez Marcos Jr., putra mendiang mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos.

"Itu baru saja terjadi di Filipina. Salah satu yang memberikan kontribusi besar adalah pengaruh media sosial. Ada lapis generasi mereka tidak peduli lagi pada perkembangan sejarah ketatanegaraan," kata Saldi Isra.

Selain itu, Saldi menyoroti soal over regulasi. Menurut Saldi, masalah regulasi di Indonesia bukanlah di tingkatan undang-undang, tetapi peraturan di bawah undang-undang. Oleh sebab itu, perlu digagas pembenahan di bawah Presiden langsung untuk menatanya.

"Ada 40.000 peraturan di bawah undang-undang. Problemnya bukan di undang-undang, tetapi peraturan perundangan di bawah undang-undang. Ini yang harus diselesaikan," ucap Saldi.

Dari jumlah 40 ribu regulasi, ujar Saldi, jumlah undang-undang tidak sampai 10 ribu, tetapi regulasi di bawah undang-undang yang jumlahnya sangat banyak dan tumpang tindah, mulai peraturan menteri hingga peraturan daerah. "Sekarang begitu banyaknya peraturan menteri yang take over kewenangan Presiden," tandas Saldi.

 

Baca juga:

Guntur Hamzah: Dalam Dua Dasawarsa Tata Bernegara Indonesia Berjalan Dinamis

 

Penulis: Nano Tresna Arfana.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi