Ketua MK: Pentingnya Penanaman Nilai-Nilai Pancasila dan Kewarganegaraan Sejak Dini
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1647308260_c1deb1febc712c57d2a8.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Tantangan untuk menanamkan nilai-nilai tentang Pancasila dan Kewarganegaraan kepada siswa-siswi di sekolah bagi ibu dan bapak guru, tentu tidaklah mudah. Namun nilai-nilai tersebut penting dan perlu untuk ditanamkan kepada siswa-siswi sejak dini. Karena penanaman nilai-nilai Pancasila dan Kewarganegaraan sejak dini adalah bagian dari pembentukan karakter dan budaya bangsa.
Hal tersebut disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam Kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Bagi Guru Penggerak Angkatan I pada Senin (14/3/2022) sore di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua Bogor. Kegiatan ini merupakan kerja sama Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek).
Karakter dan Budaya Bangsa
Dikatakan Anwar, selain ilmu pengetahuan dan teknologi, karakter dan budaya bangsa menjadi identitas bagi sebuah negara dan bangsa di tengah kehidupan global.
“Kita patut bersyukur, penanaman nilai budaya bangsa, khususnya tentang Pancasila dan Kewarganegaraan telah menjadi identitas yang begitu kental dan dikenal oleh berbagai bangsa dan negara di dunia. Namun pada saat yang bersamaan, kita juga perlu untuk tetap waspada karena dalam kondisi arus informasi dan teknologi yang saat ini berkembang pesat, identitas budaya bangsa dapat tergerus oleh zaman,” tegas Anwar.
Penanaman nilai Pancasila dan kewarganegaraan, ungkap Anwar, tidak dapat dilepaskan dari pengenalan sejarah terhadap lahirnya konstitusi atau UUD 1945 dan perubahannya. Sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari kemerdekaan pada 1945, UUD 1945 telah mengalami beberapa kali perubahan. Sejak pembentukannya oleh BPUPKI dan PPKI pasca Proklamasi kemerdekaan, UUD 1945 pernah diubah menjadi konstitusi RIS, UUDS 1950, kembali kepada UUD 1945 naskah awal dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan terakhir perubahan UUD 1945 pasca-reformasi yang dilakukan sejak 1999 hingga 2002. Pasca-Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 seolah menjadi “barang sakral” yang tidak boleh menjadi bahan diskusi atau perdebatan, apalagi untuk diubah.
Setelah reformasi bergulir 18 tahun silam, tepatnya pada 21 Mei 1998, sakralisasi terhadap UUD 1945 berakhir. Tuntutan demokratisasi muncul dimana-mana seiring dengan derasnya arus reformasi, yang menghendaki perubahan konstitusi. Oleh karena itu, setelah beralihnya rezim kekuasaan orde baru ke orde reformasi, pasca pemilu 1999 perubahan konstitusipun dimulai. Perubahan itu kemudian diwujudkan dalam empat tahap proses perubahan, dimulai sejak 1999 hingga tahun 2002.
“Perubahan konstitusi dipandang menjadi suatu kebutuhan yang harus dilaksanakan karena UUD 1945 yang lama dianggap tidak lagi cukup untuk mengatur dan memberikan dasar bagi terselenggaranya negara dengan prinsip good governance serta untuk mendukung penegakan demokrasi dan hak-hak asasi manusia,” ujar Anwar.
Guiding Light
Sementara itu Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah mengatakan, kolaborasi Mahkamah Konstitusi dengan Kemendikbud Ristek ini adalah salah satu perhatian Mahkamah Konstitusi bagi para guru penggerak untuk meng-update, mengingatkan kembali dan membuka ruang diskusi pembelajaran Pancasila dan Konstitusi sebagai salah upaya penyesuaian dan menciptakan pembelajaran yang konstekstual untuk disebarkan pada sesama guru dan diajarkan pada siswa di sekolah nantinya. Sehingga dengan begitu, Pancasila akan tetap mampu menjadi guiding light, menjadi sinar petunjuk dan pedoman hidup bagi para siswa generasi mendatang.
Peran para guru penggerak bukanlah peran yang ringan. Ada amanah konstitusional yang tercantum dalam pembukaan UUD kita bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi tujuan bernegara kita. Para guru penggerak diharapkan menjadi garda terdepan, perwakilan negara untuk memberikan tenaga, waktu dan pikiran terbaik dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tiada pendidikan yang mencerahkan tanpa guru yang berkualitas. Amanah ini seyogyanya diemban dengan perasaan bangga dan penuh semangat untuk terus meningkatkan kapasitas diri dari hari ke hari. Tak pernah puas untuk memberikan yang terbaik bagi siswa didik pemegang masa depan bangsa Indonesia.
“Kesempatan bertemu seperti saat ini meskipun kita laksanakan secara virtual, kami harapkan mampu membuka ruang diskusi positif dan ruang kolaborasi antar guru. Kegiatan ini juga kami harapkan dapat memantik lahirnya gagasan, pemikiran, dan inovasi pembelajaran yang menyegarkan pendalaman Pancasila dan Konstitusi bagi siswa di sekolah,” urai Guntur.
Guntur kemudian menyampaikan kutipan filsuf Amerika Serikat, John Dewey yang yang dikenal sebagai kritikus sosial tentang pendidikan yang kemudian merintis dasar keilmuan di bidang psikologi pendidikan. Dewey mengatakan, “Education is not an affair of ‘telling’ and being told, but an active and constructive process”.
Sedangkan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Praptono berharap agar para guru yang hadir dan mengikuti acara bimtek ini dapat menjadi agen perubahan dalam menyebarluaskan informasi mengenai nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila dan Konstitusi kepada para guru lainnya yang tidak hadir dalam bimtek, yang selanjutnya menyebarkan informasi tersebut kepada anak didik mereka maupun para keluarganya.(*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari P.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi