Kebijakan Konstitusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1646017760_b9a1fc1d69583d30165f.jpg)
LUTIM, HUMAS MKRI – Penandatangan Nota Kesepahaman secara Elektronik antara Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur (Lutim) tentang Peningkatan Pemahaman Pancasila dan Hak Konstitusional Warga Negara diselenggarakan pada Jumat (25/11/2022) di aula Pemkab Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dan Bupati Luwu Timur Budiman berkenan melakukan penandatanganan nota kesepahaman secara digital, disaksikan langsung oleh Hakim Konsitusi Arief Hidayat yang hadir pula di Luwu Timur serta para pejabat Pemkab Luwu Timur yang hadir secara luring maupun daring.
Pengelolaan SDA
Kegiatan berlanjut dengan ceramah kunci Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Arief memaparkan pentingnya pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia untuk kemakmuran rakyat.
“Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harus mampu kita pertanggungjawabkan betul kepada Tuhan yang Maha Esa. Karunia kekayaan sumber daya alam di Indonesia adalah atas berkat Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa, Allah SWT. Karena itu, sumber daya mineral nikel dan sumber kekayaan laut Luwu Timur harus benar-benar dikelola. Kita berikan untuk kemakmuran rakyat dan sekaligus harus dipertanggung jawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa,” kata Arief.
Arief melanjutkan, pada tahun 1970-an Indonesia mengalami surplus minyak yang luar biasa. Indonesia menjadi salah satu komponen utama eksportir minyak yang tergabung dalam OPEC. Tapi apakah betul kala itu kemakmuran tercipta untuk warga negara? Jawabannya, kata Arief, minyak habis dan bangsa Indonesia belum mengalami kesejahteraan.
Kemudian Tahun 1980-an sumber daya hutan Indonesia begitu luar biasa, dibabat habis untuk diekspor. Tetapi yang mempunyai akses menjadi warga negara sejahtera ternyata hanya segelintir orang Indonesia. Mendekati tahun 1990 sampai sekarang, Indonesia memiliki kekayaan alam berupa batubara yang luar biasa, diekspor ke Korea Selatan, Jepang, Taiwan, China yang industrinya berkembang luar biasa karena batubara dari Indonesia. Sementara kesejahteraan rakyat Indonesia tidak mengalami peningkatan secara optimal.
“Satu-satunya yang masih agak dapat kita cadangkan untuk kepentingan anak cucu kita ke depan adalah sumber daya laut Indonesia. Saya sangat optimis sumber daya laut akan terus dipertahankan dan akan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat,” tegas Arief.
Putusan MK tentang SDA
Usai paparan materi dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat, digelar “Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Nilai-Nilai Pancasila dan UUD 1945” kerja sama Mahkamah Konstitusi dengan Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. Hadir Sekjen MK M. Guntur Hamzah dan Guru Besar Hukum Administrasi Negara UNS I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono Soeroso berlaku sebagai moderator.
Terkait konsep Pasal 33 UUD 1945 mengenai sumber daya alam, menurut Guntur, ketika hal itu diturunkan pada level yang lebih operasional, terkadang terjadi perdebatan. Bagaimana memahami bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara? Bagaimana pula negara bisa mentransfer menjadi sebesar-besar kemakmuran rakyat? Berbagai kasus masa lalu di Indonesia harus menjadi pelajaran berharga. Sumber daya minyak, hutan, batubara habis, tapi tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat.
“Padahal tidak ada negara yang miskin, yang ada adalah negara yang salah kelola sumber daya alam. Pengelolaannya harus benar-benar baik sehingga bisa berdampak pada kesejahteraan masyarakat,” ujar Guntur yang menyajikan materi “Pokok-Pokok Kebijakan Konstitusi dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam”.
Dalam konteks itulah, sambung Guntur, sudah banyak sekali putusan MK terkait pengelolaan sumber daya alam. Misalnya, Putusan MK Nomor 002/PUU-1/2003 perihal pengujian UU Minyak dan Gas, terkait klasifikasi cabang produksi: ada cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak; penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak; tidak penting bagi negara, tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.
“Tataran teknis operasional bagaimana ini? Ada cabang-cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Pertanyaannya, siapa yang menilai itu penting? Siapa yang menilai bahwa itu menguasai hajat hidup orang banyak? Putusan MK sudah memberikan rambu-rambu bagaimana menilainya,” tutur Guntur.
Guntur menjelaskan, kriteria penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak dikembalikan kepada pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat untuk menilai apa dan kapan suatu cabang produksi itu dinilai penting bagi negara dan/atau menguasai hidup orang banyak.
“Apa artinya? Pemerintah Pusat, Presiden dan DPR untuk menentukan undang-undangnya. Di level Perda adalah Bupati dan DPRD. Inilah rambu-rambu yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi,” imbuh Guntur.
Sumber-Sumber Strategis
I Gusti Ayu Ketut Rachmi dalam paparannya menjelaskan pengelolaan sumber daya alam sesuai Pasal 33 UUD ayat (3) 1945. Negara harus hadir pengelolaan sumber daya alam.
“Sumber-sumber strategis tetap dikuasai oleh negara, namun demikian pihak ketiga termasuk swasta diperkenankan untuk mengelola. Namun tentunya, pengelolaannya sesuai dengan koridor dari peraturan perundang-undangan yang ada maupun putusan hakim terkait dengan pengelolaan sumber daya alam,” ucap Ayu.
Ditambahkan Ayu, payung hukum dalam pengelolaan sumber daya alam adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 1 angka 9 UU No. 32/2009 menyebutkan, “Unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem”.
Ayu melanjutkan, pada abad ke-18, bangsa Indonesia masih menggunakan paradigma keadilan lingkungan. Kalau mempelajari Teori Keadilan Lingkungan, lebih pada keadilan untuk makhluk hidup yaitu manusia, hewan, tumbuhan.
“Padahal di sisi lain, mahluk hidup akan hidup bersama benda mati yang ada di sekitarnya. Artinya, tanpa air, udara, mineral dan seterusnya, kita tidak bisa hidup dengan baik. Keadilan yang lebih ideal, diharapkan adalah keseimbangan antara adil bagi mahluk hidup dan adil bagi benda mati yang ada di sekitarnya,” ujar Ayu.
Lebih lanjut Ayu mengatakan, negara Indonesia bertujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hal ini bisa diwujudkan dengan terciptanya keadilan ekologis. Ternyata, keadilan ekologis sebetulnya sudah ada dalam nilai-nilai Pancasila, khususnya sila kedua dan sila kelima.
“Dengan demikian kalau kita pelajari lebih detail, sila-sila dalam Pancasila sudah luar biasa dalam menjaga keutuhan kekayaan alam bangsa Indonesia,” tandas Ayu.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi