Pelembagaan Constitutional Question, Mungkinkah?
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/berita_1645416725_35fce06a007d9d35ea98.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi pembicara kunci dalam Seminar Nasional bertajuk “Pelembagaan Constitutional Question: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan dalam rangka pelantikan Pengurus Daerah APHTN-HAN D.I Yogyakarta masa bakti 2021–2026 bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Sabtu (19/2/2022) secara daring. Dalam kesempatan ini hadir pula Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dan Dosen HTN Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Nanik Prasetyoningsih sebagai narasumber serta Dosen HTN UIN Sunan Kalijaga Gugun El Guyanie selaku moderator acara.
Berbicara mengenai constitutional question, Enny mengungkapkan MK pernah menjatuhkan Putusan Nomor 28/PUU-XVII/2019 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam putusan tersebut Mahkamah berpendapat, hal yang dialami oleh Pemohon bukan merupakan persoalan norma, melainkan penerapan hukum yang sesungguhnya dapat diwadahi dalam mekanisme constitutional question yang saat ini tidak dimiliki oleh MK.
Enny menandaskan, sejatinya pada Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 secara tegas telah menyebutkan esensi dari kewenangan MK. Namun pertanyaan besarnya berkaitan dengan kewenangan constitutional question, bukan perkara sanggup atau tidak sanggupnya MK dalam mewadahi ini, melainkan kondisi sesungguhnya yang ada di MK adalah permohonan perkara yang ada lebih berkaitan dengan kasus konkret. Sebab, hingga saat ini putusan MK hanya berkaitan sepanjang materi frasa, ayat, dan pasal dari sebuah undang-undang.
Diakui oleh Enny, kendati kewenangan constitutional question belum dipraktikkan di MKRI namun perlu dilakukan penelitian lebih dalam apakah hal itu tidak mungkin terjadi atau justru sebaliknya, sangat besar peluang terjadinya di Indonesia. Sementara isi legislasi di Indonesia masih dihadapkan pada penataan yang belum tuntas. Betapa banyaknya produk undang-undang yang dihasilkan, namun kesadaran berkonstitusi yang masih rendah mengakibatkan belum banyak warga negara yang menyadari hak-hak konstitusionalnya yang melekat pada suatu undang-undang.
“Apakah semua sudah sesuai dengan konstitusi dan ruh dari amendemen UUD 1945? Inilah yang menjadi masalah berkaitan dengan kondisi perundang-undangan Indonesia yang masih butuh jalan keluar, utamanya berkaitan dengan perlindungan atas keberlakukan undang-undang bagi hak warga negara,” sampai Enny dalam kegiatan yang juga diikuti oleh Dekan FH UII Abdul Jamil dan Pengurus Daerah APHTN-HAN D.I. Yogyakarta.
Atas hak-hak konstitusional ini, lanjut Enny, MK menuangkannya dalam 66 ikon hak konstitusional warga negara, yang dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu hak individu, hak kolektif, dan hak masyarakat rentan. Enny berharap, produk ini dapat menjadi buku saku untuk memudahkan warga negara memahami hak-hak konstitusionalnya tersebut. Melalui produk ini juga, MK berharap dapat memberikan perlindungan bagi hak-hak konstitusional warga negara secara lebih maksimal.
Organisasi Keilmuan
Pada kesempatan ini, Sekjen MK M. Guntur Hamzah yang sekaligus Ketua Umum APHTN-HAN dalam sambutannya mengatakan, sebagai sebuah organisasi keilmuan, kegiatan APHTN-HAN bersifat terbuka dan terdokumentasi secara baik, mulai dari struktur organisasi hingga berbagai agenda yang dilakukan organisasi dalam memajukan ilmu HTN-HAN di Indonesia.
Segala hal terkait kegiatan organisasi dapat diakses pada laman resmi APHTN-HAN yang di dalamnya juga termuat kurikulum bagi ilmu HTN-HAN. “Dengan demikian diharapkan para pengajar HTN-HAN dapat menjadikan kurikulum tersebut sebagai bagian dari standardisasi ilmu HTN-HAN seluruh Indonesia,” tutur Guntur.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi