Sekjen MK Bahas Peradilan Modern di Era Disrupsi 4.0

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Peradilan modern adalah peradilan dengan sistem kerja berbasis ICT (Information, Communication, and Technology) dan memiliki mindset dan culture set yang maju.  Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah selaku narasumber Seminar Pendidikan Hukum dan Launching Jaringan Pendidikan Hukum Indonesia yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga pada Selasa (18/1/2022). Dalam kesempatan itu, Guntur menyampaikan materi mengenai  “Peran Lembaga Peradilan dalam Pembelajaran Berbasis Digital/Elektronik”. Hadir pula Wakil Ketua MA RI Bidang Non Yudisiil Sunarto sebagai narasumber.

Pada awal pemaparannya, Guntur menyampaikan mengenai tujuan peradilan berbasis informasi dan teknologi (ICT). “Memangkas biaya dan waktu, meminimalisir terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu, mewujudkan proses kerja yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel serta meningkatkan kualitas pelayanan publik,” jelas Guntur dalam acara yang merupakan kerja sama antara FH Universitas Airlangga (Unair) dengan FH Maastricht University.

Guntur juga menguraikan karakter lembaga peradilan untuk mendukung pembelajaran  berbasis digital/elektronik, yakni lembaga peradilan harus mengadopsi perkembangan ICT; lembaga peradilan harus aktif mendorong rasionalitas dan keadilan substantif dalam proses dan pencapaian tujuan; lembaga peradilan mampu mendeteksi kebutuhan regulasi dari masyarakat pencari keadilan; lembaga peradilan harus mempertimbangkan “roh” hukum, bahwa hukum ada untuk masyarakat.

Era Disrupsi 4.0 yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi, menurut Guntur, menjadi pembelajaran Mahkamah Konsitusi. Misalnya, membuat praktik hukum menjadi serba smart, lebih menghemat waktu dan lebih akurat. MK menyediakan transkrip sidang, live streaming, putusan bebas unduh. Kemudian permohonan bisa secara online dan melakukan persidangan jarak jauh, sehingga menjadi lebih simpel.

“Produk atau layanan hukum pada era disrupsi lebih mudah diakses dan dipilih. Seperti permohonan online, forum tanya jawab melalui laman MK, akses bebas semua dokumen dari laman MK,” ungkap Guntur.

MK Merespons

Dikatakan Guntur, MK merespons perkembangan ICT dengan membangun sistem terintegrasi yang meliputi Sistem Manajemen Perkara (SIMPP), Sistem Verifikasi Keuangan (SIVIKA), e-Kinerja, e-SKP, Sistem Informasi Kearsipan Dinamis (SIKD), SIMPEL, e-Perisalah, e-Minutasi, e-BRPK, case tracking, video conference. “Ada integrasi, karena sistem di MK dicoba untuk diintegrasikan agar cara kerja lebih cepat dan efektif,” ujarnya.

Kemudian juga, MK merespons perkembangan ICT melalui Sistem Online 24/7 untuk pelayanan publik dan pencari keadilan. Berikutnya, MK merespons perkembangan ICT melalui Single-sign-on yang cukup melakukan proses otentikasi sekali saja untuk mendapatkan ijin akses terhadap semua layanan dalam jaringan. Selanjutnya, MK merespons perkembangan ICT melalui Digital Mindset dan M-KIT.

Namun, lanjut Guntur, ICT di MK juga bermakna sebagai Integrity, Clean, Trustworthy. Integrity diartikan bahwa integritas sebagai modal insani agar tidak terjadi loss of human identity. Clean diartikan bersih dari upaya-upaya koruptif serta menguntungkan diri sendiri. Sedangkan Trustworthy merupakan elemen terpenting untuk menghadapi pembentukan dan penegakan hukum di era digital.

Dengan demikian, sambung Guntur, jangan hanya mengartikan ICT sebagai akronim Information, Communication dan Technology. Namun yang lebih penting lagi, ICT itu juga menyangkut integritas, bersih dan dapat dipercaya. Kalau hanya memahami teknologi sebagai perangkat, maka bisa jadi the man behind the tool akan bisa membuat alat yang digunakan bisa menjadi salah. “Karena itu prinsip integritas, bersih, dapat dipercaya menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ICT yang diterapkan di Mahkamah Konstitusi,” tegas Guntur.

Keterbukaan

Pada kesempatan itu, Guntur juga menyampaikan filosofi pentingnya keterbukaan dalam sebuah lembaga, termasuk di Mahkamah Konstitusi. Guntur merujuk pendapat Jeremi Bentham seorang filosof Jerman mengatakan, selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah ruhnya keadilan untuk melawan ketidakadilan. “Kalau kita mau modern, filosofi itulah yang harus melekat pada setiap pegawai MK untuk mewujudkan peradilan yang transparan,” ujar Guntur.

Dikatakan Guntur, keterbukaan dalam dunia peradilan menjadi hal yang tidak bisa dielakkan. Ketika ada perkembangan-perkembangan terkini, pakar bernama Amelia Mary Earhart mengatakan, “The most effective way to do it, is to do it”. Ini diartikan bahwa kalau ada sesuatu yang harus diselesaikan, maka harus diselesaikan saat itu juga dan dikerjakan dengan baik.

Hal lainnya, ungkap Guntur, di Mahkamah Konstitusi telah terjadi perubahan paradigma, memperbaiki secara terus-menerus terkait dengan pemangkasan pekerjaan agar hasilnya lebih efektif dan memberikan benefit yang jauh lebih besar. Di antaranya, Mahkamah Konstitusi menggunakan tanda tangan digital dan mengubah paradigma tanda tangan basah yang telah berlangsung lebih dari dua tahun.

Guntur berharap, paradigma baru melalui penggunaan tanda tangan digital itu bisa dipertahankan dan dikembangkan terus.  Karena tanda tanda digital jauh lebih baik. Tidak saja akurat, tetapi juga dokumen yang sudah ditanda tangani secara digital akan secara mudah untuk diketahui originalitasnya, validitasnya, otentisitasnya sehingga  menyebut penggunaan tanda tangan digital memiliki karakter OVO yaitu Original, Valid, Otentik dibanding tanda tangan basah yang menggunakan kertas yang tidak efektif dan tidak efisien.

Perubahan paradigma berikutnya di Mahkamah Konstitusi, lanjut Guntur, perubahan signifikan dari penggunaan kertas secara perlahan-lahan menurun dan berubah dengan menggunakan soft copy atau secara digital. Selain efisien, dokumen secara digital juga lebih mudah untuk dikirim tanpa memerlukan kurir, pengantar surat, dokumen bisa dikirim cepat melalui email. Perubahan drastis melalui dokumen elektronik juga dapat memangkas waktu secara serentak semua unit kerja tanpa harus menunggu dokumen itu berpindah tempat dari satu meja ke meja yang lain.(*)

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Lulu Anjarsari P

Source: Laman Mahkamah Konstitusi