Sekjen MK: Putusan MK Penting Diperhatikan dalam Pembentukan UU

JAKARTA, HUMAS MKRI – Sekjen MK M. Guntur Hamzah menyampaikan apresiasi upaya dan ikhtiar DPR dalam rangka persiapan pembahasan dan pembentukan UU Penyadapan. Hal ini disampaikan oleh Guntur saat menjadi narasumber FGD “Urgensi RUU Penyadapan dalam Sistem Penegakan Hukum Berbasis Prinsip Due Process of Law”  yang diselenggarakan oleh Komisi III DPR pada Rabu siang (15/12/2021) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta. “Kami memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas upaya dan ikhtiar DPR dalam rangka persiapan pembahasan dan pembentukan UU Penyadapan,” sebut Guntur.

Menurut Guntur, upaya DPR untuk membentuk UU Penyadapan sangat sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan mandat agar Pembentuk Undang-Undang segera membentuk UU Penyadapan yang komprehensif  dalam satu undang-undang.

Dalam FGD tersebut, Guntur memaparkan materi “Kewenangan dan Pengaturan Penyadapan yang sesuai dengan Konstitusi dan HAM”.  Dalam paparannya, Guntur menyebut perihal sejumlah putusan perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi menyangkut ketentuan mengenai penyadapan. Guntur menyampaikan setidaknya  sampai saat ini terdapat 5 (lima) putusan MK terkait ketentuan penyadapan.

Tiga putusan, di antaranya menguji ketentuan penyadapan yang dimuat di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, dan Putusan Nomor 60/PUU-VIII/2010. Dua putusan lain berkenaan dengan pengujian UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yaitu Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016.

Dari kelima putusan tersebut, lanjut Guntur, hanya putusan dalam perkara pengujian UU ITE yang dikabulkan, yakni dalam Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 20/PUU-XIV/2016. Guntur mengatakan, “dari putusan tersebut, yang menggembirakan ialah semua perubahan norma yang diakibatkan oleh putusan dalam dua putusan tersebut telah diakomodasi oleh Pembentuk Undang-Undang melalui Perubahan UU ITE”. Namun menurut Guntur, ada yang constitutional order yang belum diakomodir, yaitu membuat pengaturan penyadapan dalam satu undang-undang yang bersifat komprehensif. “Sebagaimana kita lihat bersama, terdapat ikhtiar sungguh-sungguh untuk melaksanakan mandat konstitusional tersebut. Salah satunya dengan menggelar FGD ini,” ujarnya.

Hak Asasi

Dalam paparannya, Guntur juga menyampaikan bahwa penyadapan merupakan pelanggaran hak privasi yang bertentangan dengan konstitusi. Namun demikian, hak privasi merupakan bagian dari HAM yang dapat dikurangi (derogable right), sehingga demi keperluan yang sangat penting seperti penegakan hukum, hak privasi dapat dibatasi. “Namun demikian, pembatasan itu harus tunduk pada Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945, yakni hanya dapat dilakukan pembatasan yang diatur dengan undang-undang,” ucapnya.

Berkenaan dengan pembatasan HAM yang dapat dilakukan melalui undang-undang, Guntur mengingatkan perlunya merujuk pada sejumlah putusan MK yang memberikan rambu-rambu bagaimana pembatasan HAM melalui undang-undang yang sejalan dengan konstitusi. Guntur menyebutkan setidaknya rambu-rambu tersebut termuat  dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003, Putusan Nomor 008/PUU-II/2004, dan Putusan Nomor 33/PUU-XIII/2015. Lebih lanjut, menurut Guntur, putusan tersebut memberikan tafsir terhadap Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 manakala pembatasan HAM akan dilakukan melalui pengaturan dalam UU.

Selanjutnya,  Guntur merinci rambu-rambu pembatasan HAM tersebut yang dikaitkan dengan pembahasan RUU Penyadapan. Pembatasan HAM berupa penyadapan dilakukan dengan diatur dengan UU tersendiri secara komprehensif sebagaimana putusan MK. Berikutnya, pemberian kewenangan kepada lembaga dan proses penyadapan yang didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional, serta tidak berkelebihan. Lebih lanjut, penyadapan dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain. Disampaikan juga oleh Guntur, pengaturan dan proses penyadapan dilakukan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Tidak lupa, Guntur menegaskan bahwa pengaturan mengenai penyadapan tidak boleh diskriminatif.

Pada bagian akhir, Guntur mengingatkan agar pembentukan undang-undang memperhatikan dan mempertimbangkan putusan MK. “Rambu-rambu konstitusional sebagaimana dimuat dalam putusan MK penting diperhatikan dalam penyusunan dan pembahasan RUU Penyadapan,” pungkas Guntur.

Selain Guntur, hadir sebagai narasumber dalam FGD tersebut, yaitu Arsul Sani (Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua MPR RI), Andi Samsan Nganro (Wakil Ketua Bidang Yudisial Mahkamah Agung), dan  Inosentius Samsul (Kepala Badan Keahlian DPR RI). FGD dihadiri sejumlah perwakilan mitra kerja Komisi II DPR RI antara lain Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI, KPK, PPATK, Komnasham, BIN, LPSK, dan lain-lain. FGD ini merupakan upaya Komisi III DPR RI untuk mendapatkan dan menampung berbagai masukan, saran, dan rekomendasi dari berbagai pihak untuk selanjutnya dapat diperdalam guna membahas rancangan RUU Penyadapan.(*)

Penulis: FLS

Editor: Lulu Anjarsari P.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi