Hakim Konstitusi dan Sekjen MK Memberi Pembekalan Materi Peserta Moot Court

JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi M. Guntur Hamzah serta Peneliti Senior MK Pan Mohammad Faiz menjadi narasumber dalam kegiatan pembekalan materi bagi para peserta Peradilan Semu, pada Rabu (10/11/2021). Kegiatan ini merupakan rangkaian dari Kompetisi Peradilan Semu yang diselenggarakan atas kerja sama MK dengan Universitas Tarumanegara. 

Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam paparannya mengatakan, pada zaman Orde Baru UUD 1945 begitu sakral dan tidak bisa diubah. Ketika Era Reformasi terdapat tuntutan perubahan UUD 1945. Hal tersebut dilakukan agar pemerintahan tidak bersifat otoriter.  

Dikatakan Arief, di dalam alinea keempat UUD 1945 ditegaskan tujuan visi dan misi negara. Untuk dapat mencapai visi misi negara tersebut Indonesia harus berdasarkan pada 5 sila yang selanjutnya disebut sebagai Pancasila. Menurutnya, Pancasila memayungi dan menyinari pasal-pasal UUD 1945. 

Lebih lanjut Arief mengatakan, hal yang sama juga pada demokrasi konstitusional yang berketuhanan. Menurut Arief, sila pertama Indonesia tidak memisahkan antara kehidupan negara dengan kehidupan beragama atau kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga negara Indonesia bukan negara yang sekuler. Demokrasi konstitusional yang bukan sekuler tetapi yang berketuhanan. 

Selain itu, Arief juga menjelaskan, nafas hukum Indonesia adalah hukum yang berasal dari Pancasila. Sehingga menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk menggali hukum di Indonesia. 

Secara sederhana, konstitusi dimaknai sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan negara. “Jadi di sini yang inti harus kita ketahui konstitusi itu adalah hukum dasar,” ujarnya.  

Arief juga menegaskan, Indonesia berbeda karena memiliki ideologi berdasarkan Pancasila. UUD 1945 mengatur semua aspek kehidupan yang ada dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. UUD 1945 memiliki ruang lingkup berbeda dengan konstitusi negara liberal, negara individualistik dan negara komunis. Indonesia berdasarkan Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan khususnya dalam rangka mencapai visi dan misi serta tujuan nasional. 

 

Peradilan Modern

Sekjen MK M. Guntur Hamzah pada kesempatan ini menyampaikan paparan dengan tema “Sistem Peradilan Berbasis ICT di Mahkamah Konstitusi”. Guntur mengatakan, lembaga peradilan berada di tengah antara eksekutif dan yudikatif. Oleh karena itu, lembaga peradilan dituntut senantiasa terbuka. Mengenai pentingnya keterbukaan di lembaga peradilan, Guntur mengutip Jeremy Bentham yang mengatakan, “Selama tidak ada keterbukaan, tidak akan ada keadilan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan adalah alat untuk melawan serta penjaga utama dari ketidakjujuran. Keterbukaan membuat “hakim” diadili saat ia sedang mengadili.”

“Kepercayaan publik akan muncul apabila proses-prosesnya (persidangan) dilakukan secara terbuka,” terang Guntur.  

Lebih lanjut Guntur memaparkan prinsip dasar pentingnya pemanfaatan teknologi pada peradilan khususnya information, communication, and technology (ICT). Hal ini supaya peradilan menjadi terbuka, maju mengikuti perkembangan zaman. 

Kendati demikian, sambung Guntur, penerapan ICT di lembaga peradilan bukan hal yang mudah untuk diwujudkan. Terjadi pro dan kontra mewarnai penggunaan ICT di lembaga peradilan. Menurut Guntur, penerapan ICT di lembaga peradilan membuat lembaga peradilan menjadi lebih efektif. 

“Penerapan teknologi ini merupakan suatu keniscayaan,” tegas Guntur. 

Peradilan modern adalah peradilan dengan sistem kerja berbasis ICT (information, communication, and technology), memiliki mindset dan cultureset yang maju termasuk di dalamnya committed pada integrity, clean, and trustworthy (ICT). Dengan adanya peradilan berbasis ICT, dapat memangkas biaya dan waktu, meminimalisasi terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mewujudkan proses kerja yang efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.

 

Model Judicial Review

Peneliti senior MK Pan Mohammad Faiz antara lain memaparkan tentang Model Jucial Review yang ibagi menjadi dua yakni Sistem Terdesentralisasi (Sistem Amerika Serikat), dan Sistem Terpusat (Sistem Eropa, Sistem Kelsenian). 

Dalam sistem Amerika Serikat, terdesentralisasi di MA dan pengadilan di bawahnya. Negara yang menganut sistem ini seperti Amerika Serikat, Canada, Australia, Filipina, India, Filipina.

Sementara sistem Eropa adalah terpusat di Mahkamah Konstitusi. Negara yang menganut sistem ini seperti Jerman, Austria, Turki, Korea Selatan, Afrika Selatan, Thailand, Indonesia. 

Lebih lanjut Faiz menjelaskan model MK dibagi menjadi tiga, yakni Mahkamah/Tribunal Konstitusi, Dewan Konstitusi, dan Mahkamah/Dewan Konstitutsi.

“Mahkamah/Tribunal Konstitusi ini merupakan mekanisme judicial review, dimana objeknya UU, hanya UU yang telah disahkan. Jadi, ketika sudah disahkan barulah dia diundangkan dan menjadi objek di MK,” jelas Faiz. 

Selanjutnya, Dewan Konstitusi yang melakukan kewenangan bukan judicial review tetapi judicial pre-review. Terakhir, Mahkamah/Dewan Konstitutsi yang mana kewenangannya hybrid review atau campuran. 

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi