Ketua MK Bicara Tujuan Dibentuknya Negara kepada Penyandang Disabilitas

JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan ceramah kunci dalam kegiatan Peningkatan Pemahaman Hak Konstitusional Warga Negara (PPHKWN) bagi Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), pada Selasa (5/10/2021) secara daring. Dalam kegiatan tersebut, Anwar mengatakan tujuan dibentuknya negara dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Menurut Anwar, setidaknya terdapat tiga nilai yang terkandung di dalam tujuan dibentuknya negara Indonesia. Pertama, lahirnya Negara Indonesia bertujuan untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia.

”Kalimat ini begitu mulia, karena negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi segenap rakyatnya tanpa kecuali. Negara dalam melaksanakan tugasnya untuk melindungi segenap rakyatnya, tidak boleh membedakan berdasarkan suku, ras, agama, atau golongan apapun,” kata Anwar. 

Lebih lanjut Anwar menjelaskan, tujuan negara sebagaimana terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, di dalam konvensi hukum internasional, dikenal dengan konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi. Konvensi ini disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 21 Desember 1965. 

“Artinya, jika kita membandingkan konvensi internasional tentang anti diskriminasi dengan Pembukaan UUD 1945 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, para pendiri Republik Indonesia telah jauh lebih dulu memegang prinsip anti diskriminasi, sebelum lahirnya konvensi tersebut. Hal ini menunjukkan fakta bahwa, para pendiri Indonesia, berfikir sangat progresif dalam menanamkan nilai-nilai yang luhur untuk berkehidupan dan berkebangsaan,” terang Anwar didampingi Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah. 

Kedua, sambung Anwar, tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk menyejahterakan rakyat. Konsep ini di negara-negara Eropa dan Amerika dikenal dengan istilah welfare state (negara kesejahteraan). Dalam konsep negara kesejahteraan, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. 

Menurut Anwar, meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan, namun spirit untuk mewujudkan konsep negara kesejahteraan tersebut nampak jelas dari susunan norma-norma di dalam UUD 1945. Setidaknya, terdapat satu Bab Khusus yaitu Bab XIV, di dalam UUD 1945 yang mengatur tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, yang terdiri dari dua norma dan dapat dikategorikan sebagai upaya untuk memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat, yaitu Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945.

Dalam praktiknya, Anwar melanjutkan, upaya untuk membangun kesejahteraan terus menerus dilakukan, meski dalam kenyataannya tidak terlepas dari banyak kekurangan dan kelemahan. Sebagai contoh adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang merupakan salah satu upaya untuk menjabarkan hukum dasar sebagaimana telah disebutkan di atas. Begitu pula halnya dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), berbagai undang-undang (UU) yang mengatur hal tersebut telah berupaya pula menjabarkan norma hukum dasar tersebut. Di antara UU dimaksud adalah, UU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, UU tentang Minyak dan Gas Bumi, UU tentang Sumber Daya Air, UU tentang Kehutanan, dan berbagai UU terkait lainnya. Penyusunan UU terkait dengan pengelolaan SDA ini, merupakan ‘instrumen modal’ yang berasal dari kekayaan alam (natural resources) yang harus dikelola oleh negara dengan tujuan untuk memakmurkan/menyejahterakan rakyat dengan memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan.

Ketiga, negara berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembukaan UUD 1945, telah sangat jelas memberikan guidelines, bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

“Karena tanpa kecerdasan, tidaklah mungkin apa yang menjadi cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dapat terwujud. Dalam kaitannya dengan itu, maka tak ayal upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, hanya dapat dilakukan melalui upaya pembangunan sistem pendidikan bagi anak-anak bangsa tanpa terkecuali,” urainya. 

Dikatakan Anwar, jika dibandingkan secara kuantitas, pengaturan tentang hak jaminan pendidikan sebelum dan setelah perubahan UUD 1945, maka akan kita temukan perbedaan yang cukup signifikan. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan, kita hanya akan menemukan satu pasal saja dengan dua butir ayat ketentuan yang mengatur tentang pendidikan, yakni dalam Bab XIII Pasal 31. Namun setelah dilakukan perubahan UUD 1945, pengaturan tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan dapat ditemukan dalam 4 Pasal dan 9 butir ayat, yaitu Pasal 22D Ayat (2) dan Ayat(3), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28E Ayat (1), serta Pasal 31 Ayat (1-5). 

Begitu pula halnya secara kualitas. Jika dalam UUD 1945 sebelum perubahan hanya mengatur bahwa, warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran dan pemerintah hanya berkewajiban untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran. Namun setelah perubahan UUD 1945, warga negara menjadi wajib untuk mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah memiliki kewajiban untuk membiayainya. Perbedaan keduanya tentulah sangat substansial, mengingat bahwa pada pengaturan sebelumnya, pendidikan bagi warga negara bersifat fakultatif, begitu pula halnya terhadap peran negara dalam penyelenggaraannya. 

Setelah dilakukannya perubahan UUD 1945, jelas Anwar, pendidikan menjadi bersifat imperatif, baik terhadap warga negara maupun kepada pemerintah selaku penyelenggara pendidikan. Hal itu juga diikuti dengan standar minimal yang telah ditetapkan. Selain itu, dalam rangka mendukung terlaksananya pendidikan yang bersifat imperatif tersebut, konstitusi juga telah menetapkan persentase anggaran yang wajib dialokasikan bagi dunia pendidikan, yakni 20% baik di tingkat pusat maupun untuk tingkat pemerintah daerah, dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi