Sekjen MK: Konstitusi Menjamin Hak Warga Negara Menghadapi Covid-19

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK) M. Guntur Hamzah menjadi pembicara kunci dalam Webinar Nasional Program Studi (Prodi) Hukum Program Doktor (S3) PPs Universitas Warmadewa, pada Rabu (29/9/2021) pagi secara daring. Adapun tema acara webinar yakni “Hukum Darurat Kekarantinaan Kesehatan: Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Covid-19 Perspektif Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial Budaya, Keamanan dan Hak Asasi Manusia (HAM)”.

Pada kesempatan tersebut, Guntur menyampaikan materi “Darurat Covid-19 dalam Aspek Perlindungan Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Masa Transisi”. Guntur mengatakan, tujuan negara tidak hanya untuk mencapai kemerdekaan, mengisi dengan demokrasi, hukum, tetapi bernegara juga dituntun menurut tata cara agama. Menurut Guntur, Indonesia bukan negara agama, tetapi bukan juga negara sekuler. 

Oleh karena itu, sambung Guntur, banyak ahli melihat bahwa Indonesia tidak hanya sebagai negara demokrasi, tidak hanya sebagai negara nomokrasi (negara hukum) tetapi juga terdapat aspek religiusitas. Karena kita ini juga dituntun oleh nilai-nilai relugiusitas, maka tentu Indonesia tidak hanya demokrasi dan nomokrasi tetapi juga mengadopsi paham teokrasi. Sehingga banyak ahli mengatakan, Indonesia negara teokrasi, demokrasi dan nomokrasi. 

Hal tersebut tertuang dalam Pancasila. Lima sila dalam Pancasila dimulai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” menginspirasi sila-sila selanjutnya, menginsipirasi semua aspek kehidupan. 

“Prinsip demokrasi ada pada sila keempat. Prinsip nomokrasi terdapat pada sila kelima. Prinsip teokrasi, demokrasi dan nomokrasi dalam satu tarikan nafas yang tidak dapat dipisahka,” jelasnya. 

Lebih lanjut Guntur mengatakan, hal inilah yang membedakan karakteristik negara RI dengan negara demokrasi dan negara nomokrasi lainnya. Indonesia selalu dituntun oleh Pancasila, khususnya sila pertama yang menginspirasi sila-sila lainnya.

 

Hak Mempertahankan Hidup dan Kehidupan 

Guntur bertutur, tidak terlalu sulit mendapatkan landasan konstitusional saat bangsa Indonesia berada dalam situasi kegentingan yang memaksa. Terkait dengan kegentingan yang memaksa, Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Artinya, dalam kondisi kegentingan yang memang memperlihatkan adanya hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden dapat menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Secara susbtantif terbitnya perpu dari sudut pandang konstitusi, tetapi dalam susbtansi konten, kita dapat melihat pengaturannya pada Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya”. 

Guntur mengatakan, hal ini menunjukkan bahwa negara menjamin setiap warga negara berhak untuk hidup dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya termasuk berhak dalam konteks menghadapi Covid-19. Selain itu, negara juga bertanggung jawab terhadap fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik dan layak. 

Selama pandemi Covid-19, ungkap Guntur, MK menangani tujuh permohonan yang mempersoalkan terbitnya Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. 

“Setidaknya ada tujuh gugatan atau permohonan yang masuk ke MK untuk mempersoalkan konstitusionalitas Perpu Covid-19, “ujarnya. 

Guntur menyebutkan dua putusan MK terkait pengujian Perpu Covid-19, yakni Putusan Nomor 23/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 24/PUU-XVIII/2020. MK dalam amar putusan menyatakan permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima. Terkait dengan dua putusan ini, terang Guntur, Perpu Covid-19 telah berubah menjadi UU. Dengan demikian, pengujian Perpu Covid-19 yang dijadikan objek permohonan oleh pemohon sudah tidak ada lagi. 

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi