Hakim Konstitusi Bekali Advokat Tata Beracara Sengketa Pilkada
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/16794.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Beragam materi disampaikan para narasumber pada hari kedua Bimbingan Teknis (Bimtek) Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Serentak Tahun 2020 bagi Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) secara virtual pada Rabu (25/11/2020). Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyajikan materi “Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Tahun 2020”.
Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan dasar hukum penyelesaian hasil pilkada, antara lain UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 6/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Baca Juga:
Ketua MK: Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Wujud Kedaulatan Rakyat
Mengenai objek perselisihan pilkada, seperti diungkapkan Saldi, adalah Keputusan Pihak Termohon (KPU) mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang signifikan dan dapat memengaruhi penetapan calon terpilih yakni pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul mengatakan bahwa menghadapi sidang penanganan perselisihan hasil Pilkada Serentak Tahun 2020, Mahkamah Konstitusi telah menyiapkan dua peraturan Mahkamah Konstitusi yaitu Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 4 dan No. 5 Tahun 2020. Hal ini berarti bahwa dalam setiap ada pemilihan kepala daerah, Mahkamah Konstitusi selalu memperbarui PMK.
Bicara para pihak dalam sidang penanganan perselisihan hasil Pilkada Serentak Tahun 2020, ujar Manahan, terdiri atas Pemohon, Termohon, Pemberi Keterangan dan Pihak Terkait. Pihak Pemohon adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota. Selain itu, Pemohon bisa dari pemantau pemilihan yang terdaftar dan memperoleh sertifikat akreditasi dari KPU/KIP Provinsi/Kabupaten/Kota untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur/bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota (untuk satu pasangan calon) yang mengajukan keberatan terhadap Keputusan KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/ Kota.
Sedangkan Pihak Termohon adalah KPU/KIP Provinsi/Kabupaten/Kota. Kemudian Pemberi Keterangan adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selanjutnya yang disebut Pihak Terkait adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, pasangan calon bupati dan wakil bupati, pasangan calon walikota dan wakil walikota yang ditetapkan sebagai pemenang dalam pilkada oleh KPU.
Di samping itu, Pihak Terkait bisa merupakan pemantau pemilihan yang terdaftar dan memperoleh sertifikat akreditasi dari KPU/KIP Provinsi/Kabupaten/Kota untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur/bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota (untuk satu pasangan calon) yang berkepentingan langsung terhadap permohonan yang diajukan Pemohon.
Embrio Lahirnya Judicial Review
Sementara Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Guntur mengulas sejarah kelembagaan MK pertama kali terjadi di Austria. Sedangkan sejarah praktik MK pertama kali di Amerika Serikat. Tetapi embrio lahirnya judicial review terjadi di Inggris pada 1701. Kala itu Inggris berlaku paham bahwa Raja tidak pernah salah dan selalu benar. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul pemahaman konsep John Locke soal pemisahan kekuasaan dalam negara dan muncul paradigma bahwa parlemen tidak pernah salah.
Pakar bernama Suzanna Sherry juga mengatakan, tidak ada praktik judicial review, hakim itu tidak dapat menguji undang-undang, apalagi membatalkan undang-undang sebagai produk parlemen. Barulah seorang hakim bernama Sir Edward Coke mengatakan bahwa ketika undang-undang yang dibuat parlemen bertentangan dengan hak-hak publik, akal sehat, sistem hukum di Inggris, maka semua bisa diawasi.
“Tindakan parlemen hendaknya diawasi. Kalau bertentangan, tindakan parlemen itu harus dikatakan tidak sah dan undang-undang bisa diuji. Namun dalam praktiknya, tidak pernah ada satu pun undang-undang di Inggris yang dibatalkan,” kata Guntur.
Mengenai sejarah pengujian Undang-Undang di Indonesia, Guntur menuturkan bermula saat Moh. Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi wewenang menguji undang-undang. Bertahun-tahun kemudian, saat Perubahan UUD 1945 pada 1999 hingga 2002 terlontar gagasan agar dibentuk MK di Indonesia. Pada 13 Agustus 2003 lahirlah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Dalam menjalankan tugasnya, MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MKRI yakni menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu dan wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum. Selain itu, MKRI memiliki kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada. Pasal 157 ayat (3) UU No. 10/2016 menyebutkan, “Perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Tahap Akhir Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Berikutnya ada materi “Mekanisme dan Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” yang disampaikan Panitera Muda I MK Triyono Edy Budhiarto. “Tahapan Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020 dimulai dengan pengajuan permohonan Pemohon, kemudian melengkapi dan memperbaiki permohonan Pemohon. Setelah itu melakukan pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon,” ucap Triyono Edy Budhiarto.
Selanjutnya, ungkap Triyono, dilakukan pengumuman hasil pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon, berlanjut dengan pencatatan permohonan Pemohon dalam e-BRPK. Setelah itu melakukan penyampaian salinan permohonan kepada Termohon dan Bawaslu. Lalu, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait dan kemudian pemberitahuan sidang kepada para pihak. Tahapan berikutnya, melakukan pemeriksaan pendahuluan, sidang pembuktian dan Rapat Permusyawaratan Hakim. Hingga akhirnya dilakukan pengucapan putusan/ketetapan serta penyerahan dan penyampaian salinan putusan/ketetapan.
Mengenai Mekanisme Pengajuan Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2020, kata Triyono, dilakukan setelah pengumuman keputusan KPU tentang hasil penghitungan suara pemilihan pada 16-26 Desember 2020 (provinsi) dan 13-23 Desember (kabupaten dan kota). Sedangkan untuk pengajuan permohonan pada 16 Desember 2020-5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB (provinsi), pengajuan permohonan pada 13 Desember 2020-5 Januari 2021 pukul 24.00 (kabupaten/kota).
Menutup hari kedua bimtek ada materi “Teknik dan Diskusi Penyusunan Permohonan Pemohon dan Keterangan Pihak Terkait dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” yang disampaikan Panitera Pengganti MK Syukri Asy’ari yang mengatakan, objek permohonan perkara pemilihan bersifat limitatif karena hanya satu, yakni hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPU.
“Tenggang waktu pendaftaran permohonan tidak ada perubahan. Hal ini karena telah ditetapkan oleh undang-undang. Tenggang waktu paling lambat 3 hari sejak diumumkan penetapan perolehan suara,” ujarnya.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi