Wakil Ketua MK: Pengaduan Konstitusional Merupakan Sarana Mewujudkan Pemenuhan dan Pemajuan HAM
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/16753.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI - Ketika berbicara mengenai semangat zaman, maka hak asasi manusia (HAM) yang bertransformasi menjadi hak konstitusional merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan demi perubahan dari sejarah panjang konstitusi di Indonesia. Termasuk pula adanya diskusi dan pembahasan terkait pengaduan konstitusional dalam perspektif filosofis, perbandingan dengan negara lain, regulasi, dan kelembagaan ini, akan memberikan pengayaan bahwa pengaduan konstitusional merupakan salah satu sarana untuk mewujudkan pemenuhan dan pemajuan HAM. Demikian dikatakan Wakil Ketua MK Aswanto dalam penutupan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Constitutional Complain Bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara di Indonesia”, Selasa (17/11/2020) sore.
Aswanto menyatakan sebagai negara hukum dari perspektif historis konstitusi, mulai dari terbentuknya UUD 1945 dan diubah menjadi Konstitusi RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan kembali lagi pada UUD 1945, salah satu penyebab adanya perubahan tersebut adalah bagaimana perlindungan pemenuhan HAM dapat tercakup dengan baik di dalam konstitusi. Dari sisi original intens, sambung Aswanto, yang diinginkan perumus konstitusi agar hak asasi manusia betul-betul dijamin secara maksimal dalam konstitusi. Akan tetapi Aswanto menegaskan, hal tersebut tidak hanya harus dijamin melainkan juga harus ditegakkan dan menghasilkan pemenuhan dan pemajuan hak asasi yang dimaksudkan.
Seringkali disebutkan MK lahir sebagai salah satu anak kandung dari reformasi, yang tugas dan kewenangannya termuat dalam Pasal 24C UUD 1945. Dalam rangka pemenuhan dan pemajuan hak tersebut, pada praktik pengajuan judicial review di MK sejatinya telah tergolong pada pengaduan konstitusonal warga negara. Hanya saja, aturan yang menjamin MK punya kewenangan untuk mengadili, memeriksa, dan memutusnya perlu didiskusikan lebih jauh. Untuk itu, melalui diskusi mengenai berbagai perspektif yang mengulas pentingnya pengaduan konstitusional ini, diharapkan Indonesia sebagaimana negara Jerman, Turki, Korea Selatan, dapat pula mewujudkan perlindungan ini secara lebih konkret dan jelas.
“Maka MK saat ini dalam posisi siap melaksanakan amanat yang diberikan undang-undang. Jika nantinya diamanatkan sebagaimana kewenangan MK yang ada dalam Pasal 24C UUD 1945 dan tugas tambahan lainnya seperti penyelesaian perkara Pilkada, maka MK siap dan tidak mungkin melakukan penolakan terhadap tugas yang diberikan tersebut,” kata Aswanto.
Pada akhir sambutan, Aswanto menyatakan apresiasinya bagi narasumber dan penanggap atas kesediaan untuk hadir berdiskusi dalam FGD yang diselenggarakan MK. Aswanto berharap dengan FGD ini dapat diperoleh pemahaman dan setidaknya persepsi yang sama bagi banyak pihak akan pentingnya kehadiran kewenangan pengaduan konstitusional dalam rangka lebih memaksimalkan perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Instrumen Pelaksana
Dalam laporan kegiatan FGD yang digelar selama dua hari ini, Sekretaris Jenderal MK M Guntur Hamzah menyatakan begitu pentingnya FGD ini guna mendiskusikan instrumen pelaksanaan kewenangan pengaduan konstitusional di masa mendatang. Selanjutnya dalam pelaksaaan kegiatan ini, Guntur menyebutkan bahwa FGD ini diselenggarakan secara virtual.
FGD diikuti oleh berbagai pakar hukum tata negara dan konstitusi. Pada setiap bahasan terkait pengaduan konstitusional diungkap dalam empat perspektif, yakni filosofis, perbandingan dengan negara lain, regulasi, dan kelembagaan.
Pada sesi 1 FGD “Constitutional Complaint (Perspektif Filosofis)” dihadirkan pemateri, yakni Ketua MA Periode 2001-2008 Bagir Manan, Wakil Ketua MR RI Arsul Sani, Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna Palguna, dan Anggota Forum Konstitusi Gregorius Seto Hariyanto.
Pada Sesi 2 FGD, “Constitutional Complaint (Perspektif Perbandingan dengan Negara Lain)” diulas secara terperinci oleh Ketua MK Periode 2003–2008 Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Periode 2003–2008 dan 2009–2014 Harjono, dan Peneliti Senior Pan Mohamad Faiz.
Berikutnya pada Sesi 3 FGD, “Constitutional Complaint (Perspektif Regulasi) hadir pemateri Anggota DPR RI Taufik Basari, Kepala BHPN Benny Riyanto, Hakim Konstitusi Periode 2003–2009 Maruarar Siahaan, dan Guru Besar Hukum Tata Negara UII Ni’matul Huda.
Pada Sesi 4 yang menjadi sesi terakhir dari FGD mengenai “Constitutional Complaint (Perspektif Kelembagaan), hadir pemateri Anggota DPR RI Habiburokhman, Wakil Ketua Komnas HAM Munafrizal Manan, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono.Pada diskusi ini, para narasumber tak sekadar menyampaikan materi secara bergantian, tetapi juga disediakan forum bagi 32 orang penanggap yang berasal dari akademisi dan praktisi dari komunitas dan lembaga swadaya masyarakat untuk menyampaikan sikap, pendapat, dan argumentasi terkait bahasan yang diulas pemateri dalam setiap sesi diskusi.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi