MK Siap Mengadopsi Kewenangan Pengaduan Konstitusional

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi akan membuat perencanaan dan melakukan pembicaraan serta pertemuan yang semakin fokus untuk menemukan titik temu terkait gambaran yang akan digunakan dalam kewenangan pengaduan konstitusional. Dengan demikian, MK dalam posisi siap jika nantinya diinstruksikan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Constitutional Complaint Bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara di Indonesia”, Selasa (17/11/2020).

Guntur yang menjadi pemateri pada sesi 4 FGD dengan sub tema “Constitutional Complaint (Perspektif Kelembagaan)” lebih lanjut menyatakan, untuk mengadopsi kewenangan pengaduan konstitusional ini dapat ditempuh beberapa cara, yakni melalui amendemen UUD 1945, revisi UU MK, dan penafsiran konstitusi oleh MK melalui Peraturan MK.

Dalam dinamika pembahasan terkait dengan kewenangan pengaduan konstitusional ini, bagi MK sendiri bukanlah suatu permasalahan yang kemudian membuat MK kesulitan menangani banyak perkara yang masuk. Karena untuk mengantisipasi beban perkara tersebut, Guntur menyebutkan MK telah menyiapkan dua perencanaan, yakni dengan melakukan perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dan tidak dengan perubahan SOTK.  

 

SDM Memadai dan Mumpuni

Berbicara mengenai perubahan SOTK, dengan hakim MK yang berjumlah 9 orang, maka perlu dilakukan upaya penguatan dukungan dari Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal. Untuk langkah konkret ini, MK akan mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang terdiri atas Panitera Pengganti (PP) dan Peneliti dalam jumlah yang memadai dengan kemampuan yang mumpuni. Melalui perannya, para PP dan Peneliti ini akan sedari awal melakukan telaah dan kajian hingga nantinya perkara pengaduan konstitusional tersebut sampai pada Hakim Konstitusi.

“Dengan melakukan perubahan pada daya dukung penanganan perkara pengaduan konstitusional ini, kami tidak khawatir jika banyak perkara yang masuk ke MK,” sampai Guntur dalam diskusi yang dimoderatori oleh Peneliti MK Bisariyadi.

Selanjutnya jika tidak ada perubahan SOTK, Guntur menjelaskan bahwa MK akan menegaskan lingkup kewenangan ini dalam sebuah hukum acara penanganannya dengan menerbitkan Peraturan MK (PMK). Di dalam PMK tersebut akan memuat hukum acara yang secara teknis dapat menyaring perkara yang tergolong pada pengaduan konstitusional, seperti perumusan persyaratan yang ketat terhadap legal standing Pemohon.

Langkah berikutnya, sambung Guntur, yang disiapkan MK dari jajaran Sekretariat Jenderal adalah memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi (information communication and technology/ICT). Mulai dari masuknya permohonan hingga putusan sedapat mungkin menggunakan permohonan online. Penggunaan teknologi ini diharapkan dapat memudahkan penanganan pengaduan konstitusional sehingga diselesaikan dengan cara cepat dan tepat.

“Dengan peradilan ICT nantinya dapat memangkas biaya dan waktu, meminimalkan terjadinya praktik KKN, dan mewujudkan proses kerja yang cepat,” jelas Guntur.

 

Banjir Perkara

Pemateri berikutnya pada sesi 4 FGD yaitu Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman. Ia merupakan salah satu anggota dewan yang mengusulkan ditambahkannya kewenangan pengaduan konstitusional pada kelembagaan MK. Menurutnya, dalam Pasal 24 UUD 1945 telah jelas menyatakan jika pijakan konstitusional dari kewenangan ini kemudian dapat diamanatkan secara konkret dalam UU MK dan Peraturan MK.

Mengenai kekhawatiran akan adanya ribuan perkara yang masuk pada MK, maka ketentuan mengenai kategori terlanggarnya hak konstitusional warga negara oleh kebijakan/tindakan penyelenggara negara, dapat dilakukan penyaringan pihak yang dapat berperkara di MK. “Sebenarnya pengaduan konstitusional ini terkait masalah individu dan juga sekelompok orang. Jika telah dilakukan pengategorian, maka ini bisa jadi mengurangi banjir perkara,” jelas Habiburrakhman.

Selain itu, Habiburokhman juga mengharapkan agar MK dalam peraturannya dapat membuat 1 (satu) bab khusus yang di dalamnya memuat aturan mengenai kewenangan pengaduan konstitusional.  Sehingga, jika telah ada acuannya, Habiburrakhman optimis pembahasannya pun dapat berjalan pada prolegnas mendatang.

“Karena semua fraksi terbuka untuk komitmen masuknya pengaduan konstitusional dalam UU MK. Hal terpenting adalah konsepnya jelas. Dan melalui FGD inilah nanti yang akan menghasilkan bank mengenai kewenangan pengaduan konstitusional masuk dalam UU MK,” sampai Habiburokhman.

Kegiatan FGD yang diselenggarakan secara virtual ini, bahasan terkait pengaduan konstitusional diperbincangkan dalam empat perspektif. Pertama, constitutional complaint perspektif filosofis). Kedua, constitutional complaint (perspektif perbandingan dengan negara lain). Ketiga, constitutional complaint perspektif regulasi. Keempat, constitutional complaint perspektif kelembagaan.

Pada sesi 1 FGD “Constitutional Complaint (Perspektif Filosofis)” dihadirkan pemateri, yakni Ketua MA Periode 2001-2008 Bagir Manan, Wakil Ketua MR RI Arsul Sani, Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna Palguna, dan Anggota Forum Konstitusi Gregorius Seto Hariyanto.

Pada Sesi 2 FGD, “Constitutional Complaint (Perspektif Perbandingan dengan Negara Lain)” diulas secara terperinci oleh Ketua MK Periode 2003–2008 Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Periode 2003–2008 dan 2009–2014 Harjono, dan Peneliti Senior Pan Mohamad Faiz.

Berikutnya pada Sesi 3 FGD, “Constitutional Complaint (Perspektif Regulasi) hadir pemateri Anggota DPR RI Taufik Basari, Kepala BHPN Benny Riyanto, Hakim Konstitusi Periode 2003–2009 Maruarar Siahaan, dan Guru Besar Hukum Tata Negara UII Ni’matul Huda.

Pada Sesi 4 yang menjadi sesi terakhir dari FGD mengenai “Constitutional Complaint (Perspektif Kelembagaan), hadir pemateri Anggota DPR RI Habiburokhman, Wakil Ketua Komnas HAM Munafrizal Manan, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah, dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono.Pada diskusi ini, para narasumber tak sekadar menyampaikan materi secara bergantian, tetapi juga disediakan forum bagi 32 orang penanggap yang berasal dari akademisi dan praktisi dari komunitas dan lembaga swadaya masyarakat untuk menyampaikan sikap, pendapat, dan argumentasi terkait bahasan yang diulas pemateri dalam setiap sesi diskusi.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi