Bawaslu adalah Wasit Pemilihan Kepala Daerah
![](https://mkri.id/public/content/berita/original/16661.jpg)
JAKARTA, HUMAS MKRI – Hari kedua Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Secara Serentak Tahun 2020 Bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi, Kabupaten/Kota yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua pada Rabu (14/10/2020) diisi dengan berbagai sesi materi secara virtual.
Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyajikan materi “Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020”. Suhartoyo mengatakan secara formal dalam Peraturan MK No. 5 Tahun 2020 dijelaskan bahwa sehari setelah permohonan sengketa hasil pilkada masuk Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), maka Bawaslu akan mendapatkan salinan permohonan dari Pemohon.
“Setelah itu secara hierarkis, Bapak Ibu sekalian akan mendapatkan secara berjenjang salinan permohonan sesuai dengan kebutuhan yang berkaitan dengan Bawaslu yang membawahi permohonan yang diajukan dalam perkara yang bersangkutan. Artinya bahwa nanti pada saat Bapak Ibu sekalian mendapatkan salinan permohonan itu, tidak lagi mengirim keterangan. Kalau dulu, Bawaslu mengirim keterangan sebelum sidang. Pada saat sidang, Bawaslu menyampaikan respons terhadap perkara yang diajukan oleh Pemohon yang salinannya sudah diberikan Bapak Ibu, satu hari setelah permohonan di-BRPK. Cara ini lebih sederhana, Bapak Ibu bisa mempersiapkan keterangan yang lebih komprehensif,” jelas Suhartoyo kepada 400 anggota Bawaslu yang hadir dalam bimtek.
Dikatakan Suhartoyo, satu hal yang akan diterapkan MK dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Tahun 2020 adalah tidak ada lagi ruang ketidakpastian bagi Bawaslu. “Kalau dulu, keterangan disampaikan dua hari sebelum sidang. Tapi untuk sidang penanganan perkara PHP Kepala Daerah Tahun 2020, disampaikan pada saat sidang dengan agenda menerima keterangan Bawaslu, keterangan Pihak Terkait dan jawaban Pihak Termohon. Sehingga meskipun Bapak Ibu sekalian mendapatkan salinan permohonan satu hari setelah salinan permohonan di-BRPK, tapi sesungguhnya salinan permohonan yang belum final. Karena pada sidang pendahuluan, permohonan itu akan berpotensi dilakukan renvoi atau perbaikan-perbaikan,” urai Suhartoyo mengenai perubahan yang signifikan dalam Peraturan MK terbaru.
Hal kedua, sambung Suhartoyo, dari pengalaman empiris selama ini bahwa Bawaslu tidak seperti Pihak Terkait dan Pihak Termohon. “Dalam memberikan keterangan Bawaslu, cukup pokok-pokok keterangan. Tidak harus mempersoalkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum, syarat-syarat mengajukan permohonan, posita, petitum. Kemudian secara detail menjawab satu per satu berdasarkan sistematika permohonan itu. Bawaslu harus mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Karena Bawaslu adalah wasitnya, pihak yang imparsial, independen. Tidak boleh mengatakan bahwa yang benar adalah Pemohon atau Termohon, itu harus dihindari,” tegas Suhartoyo.
Bawaslu hanya sekadar menyuguhkan hasil dari pengawasan, tidak dalam posisi membenarkan salah satu pihak. Kedudukan Bawaslu harus benar-benar netral. Kemudian. “Substansi yang akan Bapak Ibu berikan menjadi bagian dari keterangan di MK adalah bagian yang akan dikumpulkan MK untuk menjatuhkan putusan,” tambah Suhartoyo.
Koordinator Pengawasan Pilkada
Hakim Konstitusi Manahan menyinggung tentang UU No. 6 Tahun 2020 yang mengatur tentang penundaan tahap pelaksanaan pemilihan kepala daerah karena adanya pandemi Covid-19, sehingga jadwal sidang pilkada yang semula direncanakan pada September 2020 menjadi Desember 2020. KPU menetapkan pilkada secara serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Kemudian terkait sidang perselisihan hasil pilkada harus merujuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 5 Tahun 2020 sebagai PMK yang terbaru.
“Misalnya akreditasi terhadap pemantau pemilihan semula berada di KPU tapi sekarang sudah berada di tangan Bawaslu, sehingga menjadi kewenangan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten/Kota,” ungkap Manahan yang juga menjelaskan bahwa UU No. 10 Tahun 2016 masih menggunakan istilah Panwas Kabupaten/Kota.
Disampaikan Manahan, Bawaslu menjadi koordinator pengawasan atas seluruh penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Selain itu, Bawaslu menjadi Pemberi Keterangan, sehingga harus memiliki data tentang apa telah dilakukannya dalam bidang pengawasan. Tugas Bawaslu sudah ditetapkan dalam Pasal 22B UU No. 10/2016. Tugas Bawaslu Provinsi ditetapkan dalam Pasal 28 UU No. /2015. Tugas Bawaslu Kabupaten/Kota ditetapkan dalam Pasal 30 dan Pasal 33 UU No. 10/2016.
“Sedangkan Pemohon adalah pasangan calon kepala daerah atau bisa juga pemantau pemilihan yang menjadi Pemohon, dalam hal adanya calon tunggal. Kemudian Pihak Termohon adalah KPU. Selanjutnya Pihak Terkait adalah pasangan calon yang ditetapkan KPU sebagai peraih suara terbanyak dalam pilkada,” kata Manahan.
Embrio Judicial Review
Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”. Guntur menerangkan bahwa MK maupun Bawaslu sebagai lembaga baru yang harus lebih banyak menyosialisasikan diri. “Kalau bukan kita yang memperkenalkan, siapa lagi yang memperkenalkan,” ujar Guntur.
Guntur berharap, pengenalan mengenai MK akan menambah referensi para anggota Bawaslu Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. “Bicara Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan sebetulnya kita bicara tentang flash back sejarah, hendak dibawa kemana Mahkamah Konstitusi. Termasuk eksistensi sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi,” kata Guntur.
Guntur mengatakan, sesuai dengan konsensus para pembentuk undang-undang di Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi dibentuk. “Namun perlu diketahui latar belakang dibentuknya MK. Oleh karena itu saya ingin me-refresh Bapak Ibu sekalian terkait dengan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan kita,” imbuh Guntur.
Secara sederhana, ungkap Guntur, bicara sejarah kelembagaan Mahkamah Konstitusi, pertama kali terjadi di Austria. Sedangkan sejarah praktik Mahkamah Konstitusi, pertama kali di Amerika Serikat. Tetapi embrio lahirnya judicial review terjadi di Inggris pada 1701. Kala itu Inggris berlaku paham bahwa Raja tidak pernah salah dan selalu benar. Seiring dengan berjalannya waktu, muncul pemahaman konsep John Locke soal pemisahan kekuasaan dalam negara, lalu muncul paradigma bahwa parlemen tidak pernah salah. Pakar bernama Suzanna Sherry juga mengatakan, tidak ada praktik judicial review, hakim itu tidak dapat menguji undang-undang, apalagi membatalkan undang-undang sebagai produk parlemen. Barulah seorang hakim bernama Sir Edward Coke mengatakan bahwa ketika tindakan parlemen, dalam hal ini undang-undang yang dibuat parlemen bertentangan dengan hak-hak publik, akal sehat, sistem hukum di Inggris, maka semua bisa diawasi. Tindakan parlemen hendaknya diawasi. Kalau bertentangan, tindakan parlemen itu harus dikatakan tidak sah dan undang-undang bisa diuji. Namun dalam praktiknya, kata Guntur, tidak pernah ada satu pun undang-undang di Inggris yang dibatalkan.
Mengenai sejarah pengujian undang-undang di Indonesia, Guntur menuturkan hal itu bermula saat Moh. Yamin dalam sidang BPUPK mengusulkan agar Balai Agung (MA) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju, karena UUD yang disusun tidak menganut trias politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi wewenang menguji undang-undang. Bertahun-tahun kemudian, saat Perubahan UUD 1945 pada 1999 hingga 2002 terlontar gagasan agar dibentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Hingga pada 13 Agustus 2003 lahirlah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Dalam menjalankan tugasnya, MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa antara lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu dan wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum. Selain itu MKRI memiliki kewenangan memutus perselisihan hasil pilkada. Pasal 157 ayat (3) UU No. 10/2016 menyebutkan, “Perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara TahapAkhirHasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”.
Hal lain, Guntur menguraikan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi, pengawal demokrasi, pengawal ideologi negara, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara serta penafsir akhir konstitusi.
Mekanisme Pengajuan Permohonan PHP Kada
Sesi berikutnya dengan materi “Mekanisme dan Tahapan, Kegiatan, Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” yang disampaikan Panitera Muda I MK Triyono Edy Budhiarto. “Tahapan Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020 dimulai dengan pengajuan permohonan Pemohon, kemudian melengkapi dan memperbaiki permohonan Pemohon. Setelah itu melakukan pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon,” ucap Triyono Edy Budhiarto.
Selanjutnya, ungkap Triyono Edy Budhiarto, dilakukan pengumuman hasil pemeriksaan kelengkapan dan perbaikan permohonan Pemohon, berlanjut dengan pencatatan permohonan Pemohon dalam e-BRPK. Setelah itu melakukan penyampaian salinan permohonan kepada Termohon dan Bawaslu. Lalu, pengajuan permohonan sebagai Pihak Terkait dan kemudian pemberitahuan sidang kepada para pihak. Tahapan berikutnya, melakukan pemeriksaan pendahuluan, sidang pembuktian dan Rapat Permusyawaratan Hakim. Hingga akhirnya dilakukan pengucapan putusan/ketetapan serta penyerahan dan penyampaian salinan putusan/ketetapan.
Mengenai Mekanisme Pengajuan Permohonan Perselisihan Hasil Pilkada Tahun 2020, kata Triyono Edy Budhiarto dilakukan setelah pengumuman keputusan KPU tentang hasil penghitungan suara pemilihan pada 16-26 Desember 2020 (provinsi) dan 13-23 Desember (kabupaten dan kota). Sedangkan untuk pengajuan permohonan pada 16 Desember 2020-5 Januari 2021 pukul 24.00 WIB (provinsi), pengajuan permohonan pada 13 Desember 2020-5Januari 2021 pukul 24.00 (kabupaten/kota).
Teknik Penyusunan Keterangan Bawaslu
Kegiatan Bimtek pada hari kedua ditutup dengan materi “Teknik dan Diskusi Penyusunan Keterangan Bawaslu dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2020” yang disampaikan Panitera Pengganti MK Rizki Amalia. Sistematika keterangan Bawaslu, menurut Rizki Amalia, antara lain memuat nama dan alamat Bawaslu serta uraian yang jelas terkait dengan permohonan Pemohon.
Kemudian mengenai penyusunan keterangan Bawaslu, harus memuat identitas Pemohon serta keterangan Bawaslu terkait dengan pokok permohonan yang mencakup pelaksanaan pengawasan yang telah dilaksanakan untuk seluruh tahapan pelaksanaan pemilihan beserta alat bukti yang mendukung. Selain itu, tindak lanjut temuan dan/atau laporan dan penyelesaian sengketa yakni hasil penanganan sengketa untuk seluruh tahapan dalam pelaksanaan pemilihan beserta alat bukti yang mendukung.
“Keterangan Bawaslu harus jelas. Meskipun keterangan Bawaslu to the point tapi keterangannya sudah cukup jelas bagi Hakim MK dan bisa menggambarkan secara keseluruhan prosesnya, saya rasa tidak masalah. Tapi kalau misalnya Bapak Ibu mau menjelaskan bagaimana pengawasan secara keseluruhan, tidak masalah juga. Yang penting, keterangan dari Bawaslu memberikan penerangan bagi permasalahan yang ada. Karena memang tugas Bawaslu mengawasi jalannya pilkada. Jadi saya rasa, masing-masing tingkatannya sudah punya cara sendiri, bagaimana cara membuat laporan, proses kalau ada temuan dan sebagainya sudah diatur dalam Peraturan Bawaslu,” tandas Rizki Amalia.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi