M. Guntur Hamzah Paparkan Kekayaan BUMN dalam Putusan MK

JAKARTA, HUMAS MKRI – Persoalan harta kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang selalu menjadi perdebatan. Di satu sisi, ada yang melihat hal itu merupakan kekayaan yang dipisahkan. Di sisi lain, hal itu merupakan kekayaan negara.

“Ini memang menimbulkan dilematis. Tetapi ada juga para direksi, komisaris yang terlibat dalam pengambilan putusan dalam sebuah badan usaha milik negara. Apalagi kalau itu sudah berstatus perseroan terbatas, ini makin menambah dilematis,” ujar M. Guntur Hamzah selaku narasumber acara “Perusahaan BUMN, Business Judgement Rule atau Kerugian Negara?” yang diselenggarakan Hasanuddin Law Study Centre (HLSC) Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) pada Jumat (21/8/2020) secara virtual.

“Yang pertama saya ingin mengatakan bahwa posisi saya di sini bukan selaku Sekjen ya. Tapi selaku warga Fakultas Hukum Unhas. Meskipun tidak bisa dipisahkan posisi saya selaku dosen, dengan saya selaku Sekjen,” kata Guntur yang menyampaikan materi “Harta Kekayaan BUMN dalam Putusan Mahkamah Konstitusi”.

Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), menurut Guntur, menimbulkan paradigma yang berbeda dalam melihat sudut pandang kekayaan BUMN. UU BUMN menyebutkan kekayaan BUMN merupakan kekayaan yang dipisahkan. Sementara UU Keuangan Negara menegaskan kekayaan BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara.

Guntur bertutur, Pasal 1 ayat (1) UU BUMN menyebutkan, “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.” Tapi perlu dipahami, ternyata perspektif UU Keuangan Negara melihat uang negara yang berasal dari hasil pajak, sumber daya alam, semuanya ini merupakan kekayaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara yang menyatakan, “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi: (g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;”

“Jadi, di sini tampak jelas bahwa paradigma kekayaan BUMN adalah bagian dari kekayaan negara, mau tidak mau, suka tidak suka, meskipun dari perspektif teoritis, kita bisa mengatakan bahwa kekayaan negara yang sudah dipisahkan menjadi wilayah privat. Tetapi tidak demikian halnya dari perspektif Undang-Undang Keuangan Negara,” imbuh Guntur.

Kemudian dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) menyebutkan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik  Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Namun, lanjut Guntur, muncul konsekuensi perbedaan pandangan dari UU BPK. Pasal 10 ayat (1) UU BPK menyebutkan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Sedangkan Pasal 10 ayat (2) UU BPK menyebutkan bahwa penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan BPK.

BPK punya kewenangan untuk memeriksa anggaran negara di BUMN atau BUMD. Lalu bagaimana sikap Mahkamah Konstitusi terkait dengan persoalan tersebut?

 

Dua Putusan MK

Dikatakan Guntur, ada dua putusan MK terkait harta kekayaan negara.  Hal ini dapat dijadikan referensi bagi para akademisi, praktisi. Putusan dimaksud yakni Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013. Putusan MK Nomor 48/PUU-XI/2013 menyatakan rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam  Pasal 1 angka 1 UU Keuangan Negara menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif dengan tujuan  mengamankan kekayaan negara yang sesungguhnya bersumber dari uang rakyat yang diperoleh melalui pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak.

“Menurut MK, adanya ketentuan Pasal 2 huruf g dan huruf i UU 17/2003 bertujuan agar negara dapat mengawasi pengelolaan keuangan negara dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat Pasal 23 UUD 1945. Konsekuensi dari hal tersebut adalah bahwa BUMN yang berbentuk perseroan terbatas atau badan lain yang menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah atau menggunakan kekayaan negara haruslah tetap dapat diawasi sebagai konsekuensi dari bentuk pengelolaan keuangan negara yang baik dan akuntabel,” urai Guntur.

Sedangkan Putusan MK Nomor 62/PUU-XI/2013 menyatakan hakikat BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya yang seluruh atau sebagian besar sahamnya merupakan milik negara adalah merupakan kepanjangan tangan negara, dalam hal ini pemerintah atau pemerintah daerah, di bidang perekonomian yang modal atau sahamnya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara yang dipisahkan.

“Sebagai kepanjangan tangan negara, BUMN atau BUMD berlaku ketentuan konstitusional yang terdapat dalam Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, khususnya Pasal 33 UUD 1945,” ucap Guntur. yang juga menyinggung klasifikasi cabang produksi yaitu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kemudian cabang produksi yang penting bagi negara tetapi tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Selain itu, ada cabang produksi yang tidak penting bagi negara tetapi menguasai hajat hidup orang banyak.

Putusan MK diharapkan menjadi solusi konstitusional yang mesti diketahui dan dilaksanakan oleh semua pihak. Putusan MK bersifat final dan mengikat. “Oleh karena itu tidak ada cara, kecuali harus mengikuti apa yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan MK sebagai The Final Interpreter of  The Constitution. Para pakar maupun akademisi bisa menyampaikan argumentasi dan pandangannya, tetapi pandangan yang harus kita laksanakan dan tindak-lanjuti adalah pandangan yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi,” tegas Guntur dalam acara yang dihadiri para pakar, akademisi maupun masyarakat umum.

Lebih lanjut Guntur menyinggung masalah penjatuhan sanksi terhadap pejabat BUMN dalam pengelolaan keuangan negara yang mengakibatkan kerugian negara. Penjatuhan sanksi meliputi sanksi perdata, sanksi admimistratif, sanksi pidana. “Apakah bisa dijatuhkan sanksi pidana kepada pejabat BUMN yang kekayaannya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan? Terkait hal ini ada Putusan MK Nomor 32/PUU-XVII/2009 menyatakan apabila frasa ‘setiap orang’ sebagaimana termaktub dalam UU Tipikor dimaknai dengan dikecualikan bagi pejabat atau pegawai BUMN, hal demikian akan menimbulkan ketidakpastian. Artinya, pejabat BUMN dan BUMD juga merupakan bagian dari pejabat lain yang memiliki fungsi strategis.

Oleh karena itu, menurut MK, merugikan keuangan negara atau perekonomian negara tidak dapat begitu saja dijadikan dasar untuk memidana orang, baik orang perseorangan maupun korporasi, selama tidak dapat dibuktikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan itikad buruk. Proses peradilan yang berujung pada vonis hakim, yang akan menilai perihal itikad tersebut,” papar Guntur.

Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa keuangan BUMN merupakan keuangan negara, tetapi Mahkamah juga menyatakan bahwa paradigma pengawasan keuangan negara pada BUMN harus berdasarkan pada paradigma Business Judgement Rules(BJR), tidak sekadar berdasarkan pada paradigma pengawasan keuangan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan atau Government Judgement Rules (GJR). Mahkamah Konstitusi menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan hakekat pengawasan yang berbeda ini. BJR yang telah diamanatkan dalam putusan MK berperan sebagai standard penilaian. Prinsip-prinsip BJR dijadikan sebagai unsur untuk menilai tanggung jawab direksi, baik dalam penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan. Sedangkan GJR  pada BUMN juga harus diterapkan dengan prinsip-prinsip, antara lain transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, kewajaran.

 

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi