Sekjen MK Ungkap Empat Fase Perkembangan Putusan MK

JAKARTA, HUMAS MKRI – Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) M. Guntur Hamzah menjadi narasumber “Diskusi Publik 17 Tahun MK: Reorientasi Paradigma dan Reorganisasi Kelembagaan” pada Selasa (18/8/2020) siang melalui web seminar (webinar). Kegiatan ini diselenggarakan oleh KoDe Inisiatif, sebuah lembaga riset independen di bidang hukum konstitusi dan demokrasi.

“Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi. Kami secara informal menyebutnya 5+1 yakni 5 kewenangan pokok dan 1 kewenangan tambahan. Penanganan perkara pemilihan kepala daerah merupakan kewenangan tambahan Mahkamah Konstitusi. Dari lima kewenangan pokok Mahkamah Konstitusi yang belum digunakan adalah kewenangan memutus pembubaran parpol dan memutus pendapat DPR apabila Presiden dan atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum,” kata Guntur Hamzah yang membawakan materi “Perkembangan Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi”.

Kewenangan MK melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, ujar Guntur, merupakan core business MK. Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar terdiri atas pengujian formil dan materiil. Terkait amar putusan MK juga mengalami perkembangan karena MK telah mengakomodir conditionally constitutional dan conditionally unconstitutional.  

“Termasuk juga yang sekarang jadi pusat perhatian publik, berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 terdapat tiga parameter. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” urai Guntur yang juga menyebut perselisihan hasil pemilihan umum mengalami perkembangan yang signifikan. 

Perkembangan putusan MK selama 17 tahun, ungkap Guntur, terdapat empat fase. Fase pertama saat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dibentuk, MK diberikan lima kewenangan pokok yang berjalan terus sampai fase kedua ketika Jimly Asshiddiqie menjadi Ketua MK pertama, ada putusan terkait pengujian UU Pemda yang memasukkan kewenangan menangani hasil pemilihan kepala daerah atau pilkada yang masuk jadi rezim pemilu. 

“Fase ketiga di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK mengeluarkan putusan penanganan perkara perselisihan hasil pilkada bukan menjadi kewenangan MK. Selanjutnya pada fase keempat di bawah kepemimpinan Arief Hidayat kembali memasukkan kewenangan MK menangani perkara perselisihan hasil pilkada. Statusnya menjadi kewenangan tambahan,” ucap Guntur. 

Saat ini, sambung Guntur, MK dapat dikatakan dalam masa transisi karena sebenarnya penanganan perkara perselisihan hasil pilkada seharusnya dilakukan oleh peradilan khusus. “Sepanjang peradilan khusus belum terbentuk, sifatnya masih transisi,” tegas Guntur.

Hal lain dan tak kalah penting, MK memiliki dua sistem pendukung utama yakni Kepaniteraan MK sebagai dukungan administrasi yustisial, dan Sekretariat Jenderal MK sebagai dukungan administrasi umum. “Dua sistem ini harus solid dalam rangka memberikan dukungan kepada Mahkamah Konstitusi,” imbuh Guntur. 

Selain itu, MK melakukan penguatan kelembagaan, mulai dari penguatan Dewan Etik MK, penyempurnaan Hukum Acara MK, gagasan kemandirian anggaran, anotasi putusan, monitoring dan evaluasi, serta e-minutasi

 

Kado Istimewa

Pada kesempatan itu Guntur menyampaikan rasa terima kasih kepada KoDe Inisiatif yang memberikan kajian dan data terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk di dalamnya mengenai jumlah total putusan MK selama 17 tahun, serta berapa lama putusan dijatuhkan. 

“Satu kehormatan bagi Mahkamah Konstitusi yang memperoleh kado istimewa dari KoDe Inisiatif sebagai mitra strategis dari Mahkamah Konstitusi,” ujar Guntur dalam acara yang dihadiri antara lain Hakim Konstitusi 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna, Guru Besar HTN Unpad Susi Dwi Harijanti, Simon Butt dari University of Sydney Law School, Direktur PUSaKO Universitas Andalas Feri Amsari, Ketua KoDe Inisiatif Veri Junaidi, Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda, para akademisi maupun masyarakat umum.

Guntur melanjutkan, saat ini MK memiliki database yang berbasis digital dengan tingkat akurasi yang tinggi, serta adanya sistem informasi penanganan perkara yang bersifat internal dengan sertifikasi elektronik. Di MK, seluruh pegawai maupun para hakim konstitusi dapat melihat penanganan perkara, jumlah perkara, lama perkara ditangani melalui database. 

Saat ini putusan MK berjumlah 2720 putusan dari 2775 perkara yang masuk.”Yang dimaksud perkara yang masuk adalah perkara yang sudah diregistrasi melalui e-BRPK atau Buku Registrasi Perkara Konstitusi berbasis elektronik. Kami menghitung jumlah perkara yang masuk saat diregistrasi sampai dengan diputus. Itulah cara kami menghitung berapa lama sebuah perkara diselesaikan,” jelas Guntur. 

Lebih lanjut Guntur menanggapi kajian KoDe Inisiatif  mengenai jumlah perkara dan putusan MK hingga saat ini, namun jumlahnya berbeda dengan penghitungan MK. “KoDe Inisiatif menghitung jumlah perkara MK berdasarkan perkara yang masuk, baru berupa permohonan, masih ada kemungkinan permohonan diperbaiki dan belum diregistrasi. Perbedaan penghitungan jumlah perkara juga disebabkan sudut pandang hari kerja dan hari kalender,” ungkap Guntur.

 

Penulis: Nano Tresna Arfana

Editor: Nur R.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi