Sekjen MK: Kebijakan Hukum Publik Berbasis Kearifan Lokal

JAKARTA, HUMAS MKRI – Karakter dan kebijakan hukum publik yang dibuat pemerintah dalam mengatasi penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) haruslah berorientasi semi birokratis, yang mendorong pada terciptanya regulasi berbasis integritas atau moral based regulation. Dengan cara ini, maka wujud hukum yang akan muncul adalah refleksi aturan hukum yang tidak semata-mata meniru negara lain, tetapi juga memperhatikan kondisi masyarakat setempat atau kearifan lokal. Dengan demikian kebijakan yang akan lahir adalah benar-benar sesuai dengan masyarakat Indonesia. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Sumatera Utara (APHTN HAN Sumut) pada Selasa, 2 Juni 2020 melalui media Zoom Meeting.

Mengangkat tema “Pembadanan Pancasila dan Konstitusi dalam Menyelamatkan Kehidupan Bangsa”  kegiatan webinar ini diisi pula oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, Dosen Universitas Mataram Hayyan Ul Haq, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Sabrina, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara Subhilhar, Anggota DPD RI Pendeta Willem TP. Simarmata, dan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara HAN Sumatera Utara Mirza Nasution.

Melalui webinar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Lahirnya Pancasila yang jatuh pada 1 Juni kemarin ini, Guntur bertindak sebagai penceramah kunci dengan mengangkat topik bahasan berjudul “Konstitusi dan Kebijakan Publik dalam Penyelamatan Kehidupan Bersama.” Melalui pemaparannya, Guntur mengaitkan keberadaan konstitusi, pembentukan kebijakan hukum publik, dan penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah adalah untuk keselamatan rakyat. Menurutnya, jika berpedoman pada Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat, pembentukan pemerintahan negara Indonesa bertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini tertuang dalam jaminan konstitusi terutama pada Pasal 28A, Pasal 28H ayat (1), Psal 28I ayat (4) dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945.

“Dari empat pasal tersebut, semua berbicara tentang hak rakyat dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang layak termasuk kesehatan,” sampai Guntur yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Lebih lanjut Guntur menguraikan terdapat tiga misi yang ingin dicapai Pemerintah dalam penanganan Covid-19 saat ini, yakni menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat, memastikan pengamanan sosial bagi masyarakat yang rentan, dan terlindunginya dunia usaha. Melalui tiga mata tombak yang dibuat pemerintah inilah, diharapkan masyarakat bisa hidup berdampingan secara damai dan berkelanjutan. Namun, jelas Guntur, dari semua misi tersebut kebijakan yang ditempuh pemerintah harus berpegangan pada tiga tataran aturan, yaitu memiliki payung hukum yang jelas, kejelasan instrumen hukum yang digunakan atau tindak lanjut dari suatu kebijakan yang dipilih, dan perlindungan hukum.

“Meskipun warga sehat, tetapi kalau ekonominya tidak baik,  maka itu akan menjadi masalah nantinya,” papar Guntur langsung dari Ruang Rapat lt. 11 Gedung MK, Jakarta.

Untuk itu, Guntur menilai perlu posisi dari semua pihak untuk memandang bahwa kehidupan bersama yang lebih baik dan berkelanjutan dari penanganan Covid-19 ini ibarat suatu piramida keselamatan rakyat atau Salus Populi Suprema Lex. Hal initelah termaktub dalam konstitusi negara dan dituangkan secara konkret dalam kebijakan publik yang mengedepankan aspek kemerdekaan, kedaulatan negara, dan tidak dalam kerangka terjadinya chaos.

“Jadi seperti halnya kebijakan publik yang berkeadilan sosial. Bahwa kehidupan bersama nanti akan terbangun masyarakat yang sehat, kuat ekonominya, dan menghasilkan sebuah negara yang sejahtera,” tegas Guntur dalam acara yang dimoderatori oleh Muhammad Yurizal Adi dari APHTN HAN Sumut.

Melihat perkembangan di Indonesia, Guntur mengategorikan bahwa Indonesia masih berada pada fase pertama dari empat fase penanganan Covid-19. Darurat kesehatan yang terjadi saat ini memiliki karakter hukum yang semuanya serba darurat. Sehingga dibuat pulalah aturan yang cepat untuk menjadi rujukan kerja teknis di lapangan yang bersifat diskriminasi positif. Artinya, aturan yang memiliki keberpihakan pada kalangan yang tidak beruntung yang terdampak sangat berat dari permasalahan Covid-19 ini. Mengenai hubungan relasi pemerintah dan warganya, Guntur melihat bahwa pemerintah adalah pemeran utamanya dengan gerak yang proaktif. Sehingga tipe relasi yang tercipta adalah intervensi negara secara utuh.

Adapun nantinya pada 5 Juni 2020, Guntur mencermati bahwa Indonesia akan memasuki fase kedua yang memiliki karakter hukum berdasarkan pada budaya dan semangat serta kebiasaan baru. Dengan pemahaman yang baik terhadap pencegahan Covid-19 akan tercipta protokol-protokol berupa imbauan dalam menjaga kesehatan. Sementara itu, pada fese ketiga diharapkan karakter hukum yang terbentuk adalah peran serta aktif masyarakat yang berbasis keluarga, komunitas, dan individu dalam menciptakan tatanan kehidupan berkelanjutan sebuah negara. Hingga akhirnya pada fase keempat diharapkan akan tercipta sustainable welfare yang mendorong masyarakat untuk bersaing secara sehat dalam menciptakan kehidupan baru setelah semuanya berakhir.

Koherensi Kebijakan

Pada kesempatan yang sama, pengajar hukum dari Universitas Mataram Hayyan Ul Haq menyatakan penanganan Covid-19 memerlukan adanya kekoherensian yang dilakukan pemerintah dalam memvisualisasikan tahapan pembentukan kebijakan publik. Hayyan mengilustrasikan permasalahan ini layaknya black box yang ada pada sebuah pesawa terbang. Terdapat berbagai kepentingan yang ada dalam keputusan yang diambil pemerintah yang tidak diketahui semua orang. Analogi sederhananya adalah akan tampak jelas berbagai wujud dari kepentingan pihak yang merumuskan kebijakan setelah dikeluarkannya sebuah kebijakan. Oleh karena itu, untuk meminimalkan permasalahan ini, Hayyan menyarankan agar dilakukan pengawasan secara ketat melalui transparansi pembentukan kebijakan tersebut.

“Kotak hitam dalam kebijakan publik ini mengacu pada sebuah ilustrasi alat bukti yang merekam semua hal. Namun hal ini baru diketahui setelah terjadi kecelakaan sehingga publik hanya bisa menerima. Idealnya seluruh kebijakan publik untuk masyarakat haruslah transparan. Misalnya pada praktik di publik begitu banyak kritik terhadap ketidakkonsitenan dari tingkat terendah sampai tertinggi dari kebijkan yang dikeluarkan pemerintah sehingga muncul suatu kompleksitas dan kekacauan dalam kehidupan bersama,” jelas Hayyan.

Kerugian Negara

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, dalam presentasi berjudul “Catatan Kerangka dan Kebijakan dalam Masa Pandemik Pelaksanaan PSBB” menyoroti  kebijakan hukum publik yang diambil pemerintah adalah keputusan cepat dan berdasarkan siklus yang sangat cepat serta mengutamakan tercapainya keselamatan bersama. Sehubungan dengan keputusan cepat ini, bukan berarti pejabat negara pembuat kebijakan ini dapat lepas dari jerat hukum. Mengaitkan dengan Pasal 27 ayat (2) UU Keuangan Negara bahwa kerugian negara bermakna pada tiga konteks, yakni ditimbulkan karena adanya perbuatan melawan hukum, terjadinya kelalaian, dan adanya keadaan darurat.

“Hal yang saat ini berjalan di Indonesia adalah masuk pada kategori kerugian negara sehingga jika berpedoman pada pasal 27 ayat (2), maka tidak akan menghalangi terhadap pejabat negara yang melawan hukum. Bahwa yang ada adalah penegakan hukum yang mengalami diskresi-diskresi dalam penegakannya. Untuk itu, yang diharapkan dari budaya hukum dari pemerintah dan masyarakat adalah perlu melakukan perubahan dengan penerapan keadaan yang juga berubah ini,” jelas Topo dalam kegiatan yang diketuai oleh Herdi Munte dari APHTN HAN Sumut.

Gagal Pahami Otonomi Daerah

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara Subhilhar melihat kejadian yang dialami Indonesia dalam penentuan kebijakan publik dalam penanganan Covid-19 adalah bentuk kegagalan memahami sistem otonomi daerah. Karena dalam sebuah kebijakan yang terlihat saat ini adalah belum adanya pelaksanaan nilai Pancasila yang bermakna konkret yang diambil oleh pimpinan-pimpinan daerah tersebut.

Pada dasarnya, sambung Subhillar, Pancasila lahir dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sehingga kearifan lokal masyarakat yang telah ada itulah yang disadur oleh pendiri bangsa dalam nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila itu sendiri. Untuk itu, Subhillar mengingatkan agar pimpinan-pimpinan daerah kembali melihat ke dalam diri daerah masing-masing dalam menangkap sisi responsif pemerintah terhadap permasalahan yang dihadapi warganya.

Adil dan Keadilan

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara HAN Sumatera Utara Mirza Nasution dalam presentasi berjudul “Politik Hukum dan Regulasi-Regulasi Penanganan Covid-19” menyatakan dalam penanganan Covid-19 ini, penyelamatan rakyat harus berbasis Pancasila dan Konstitusi. Meskipun dalam situasi darurat, baik hukum, pemerintah, dan masyarakat haruslah tetap berjalan berkesinambungan dalam tatanan kehidupan bernegara. Artinya, meski situasi sangat sulit nilai kebersamaan dan kekeluargaan harus terus berlanjut dalam kehidupan masyarakat ke depannya. Dalam situasi the new normal, tetap harus ada norma atau adanya panduan hidup bersama yang menjadi jati diri bangsa agar terwujud kehidupan yang adil dan berkeadilan.

“Keberlangsungan hidup rakyat adalah pertaruhan utama karena mandat yang diberikan kepada pemerintah adalah mandat tertinggi yang ada pada konstitusi negara. Bagaimana memastikan setiap kebijakan terdelegasikan sebagai bagian dari mandat rakyat. Karena sampai kapan pun, rakyat ada dan akan tetap berdaulat,” terang Mirza.

Adapun pembicara lainnya yakni Anggota DPD RI Pendeta Willem TP. Simarmata dalam pemaparan berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Sumatera Utara dalam Mengadapi Pandemi Covid-19”  mengungkapkan tugas negara, mulai dari pusat hingga daerah adalah untuk melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945. Sehingga dirinya melihat hal yang wajar jika saat ini semua perhatian pemerintah tertuju pada penanganan pandemik yang memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan keseharian masyarakat di Indonesia.

Pada akhir webinar, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Utara Sabrina dalam bahasan berjudul “Penerapan Pancasila dalam Upaya Penanganan Covid-19” mengulas hambatan dan tantangan strategis yang harus disiapkan pemerintah daerah. Khusus untuk wilayah Sumatera Utara, dirinya mendapati luasnya wilayah membuat pemerintah cukup kesulitan menjangkau masyarakat dalam memberikan bantuan dan pelayanan kesehatan yang baik. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengajak seluruh lapisan masyarakat dan pemangku kepentingan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan dan mendorong peningkatkan amalan baik dengan meningkatkan rasa peduli untuk membantu sesama. (Sri Pujianti/NRA).

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi