Dua Petani dan Pensiunan PNS Uji Norma “Kekerasan” dalam KUHP

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Pasal 170 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pada Kamis (13/3) di Ruang Sidang MK. Permohonan Perkara Nomor 16/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh dua petani, Lesmar Rumasondi dan Lamson Sidabariba, bersama seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS), R. Odjahan Silalahi.
Ketiga Pemohon saat ini tengah menjalani hukuman penjara enam bulan di Sidikalang setelah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Sidikalang pada 7 Maret 2024 atas tindak pidana "melakukan kekerasan terhadap barang" berdasarkan Pasal 170 ayat (1) KUHP. Putusan tersebut kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan dan Mahkamah Agung RI, bahkan dengan hukuman yang diperberat dari lima bulan menjadi enam bulan.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, para Pemohon yang diwakili kuasanya Saut Roy Andrian menyampaikan bahwa penerapan Pasal 170 KUHP dalam kasus mereka tidak tepat. Pasal ini dikenal sebagai norma tentang “kekerasan terbuka” (openlijk geweld) yang masuk dalam Bab V KUHP mengenai kejahatan terhadap ketertiban umum.
Para Pemohon menyoroti bahwa Pasal 170 KUHP dapat ditafsirkan melalui beberapa metode dalam hukum pidana, yang semuanya menyimpulkan bahwa norma tersebut merupakan bentuk "kekerasan terbuka". Di Belanda, yang merupakan asal hukum KUHP Indonesia, istilah ini dikenal sebagai openlijk geweld. Namun, mereka berpendapat bahwa rumusan dalam Pasal 170 KUHP saat ini tidak secara tegas mengaitkan unsur kekerasan tersebut dengan ketertiban umum.
“Jika ditafsirkan, metode penafsiran hukum pidana menunjukkan bahwa Pasal 170 berkaitan dengan kekerasan terbuka dalam konteks ketertiban umum. Namun, dalam rumusan pasal ini, keterkaitan dengan ketertiban umum tidak jelas, sehingga kami mendalilkan bahwa Pasal 170 KUHP tidak memenuhi prinsip-prinsip Lex Stricta, Lex Scripta, dan Lex Certa,” ujar Andrian.
Lebih lanjut, para Pemohon menilai bahwa rumusan Pasal 170 ayat (1) KUHP membuka peluang multitafsir, yang pada akhirnya dapat menyebabkan ketidakpastian hukum. Menurut mereka, unsur kekerasan dalam pasal ini tidak selalu mengacu pada tindakan yang menimbulkan kerusakan barang atau luka fisik, melainkan juga dapat mencakup tindakan seperti mengacak-acak barang dagangan atau mendorong seseorang di jalan raya. Namun, jika kekerasan tersebut mengakibatkan kerusakan atau luka, maka dianggap sebagai ekses.
Selain itu, Pemohon berpendapat bahwa Pasal 170 KUHP tidak memenuhi asas legalitas dalam hukum pidana, khususnya Lex Stricta, Lex Scripta, dan Lex Certa. Dari sisi gramatikal, pasal ini sulit dipahami karena penggunaan istilah seperti "dengan terang-terangan", "tenaga bersama", dan "kekerasan" yang tidak didefinisikan secara eksplisit, sehingga berpotensi menimbulkan multitafsir. Hal ini semakin membingungkan ketika ayat (1) dikaitkan dengan ayat (2) dalam pasal yang sama.
Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan bahwa Pasal 170 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka mengusulkan agar pasal tersebut hanya berlaku apabila dimaknai sebagai: "Barang siapa dalam kumpulan sepuluh orang atau lebih, dengan sengaja dan melawan hukum, di muka umum melakukan kekerasan sebagai tujuan terdekatnya, terhadap orang atau barang, yang mengganggu tatanan alamiah masyarakat, dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan."
Menanggapi permohonan para Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar format dan sistematika permohonan disesuaikan dengan ketentuan Pasal 10 PMK 2 Tahun 2021. “Hal-hal lain yang tidak relevan sebaiknya tidak perlu dimasukkan,” ujar Daniel.
Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta para Pemohon untuk menyertakan beberapa putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penerapan Pasal 170 dan telah menjadi yurisprudensi. “Dengan demikian, argumen bahwa terjadi kesalahan dalam penerapan norma dapat lebih beralasan. Konteksnya pun akan lebih jelas dalam menunjukkan potensi pertentangan norma tersebut dengan konstitusi,” jelas Guntur.
Majelis Hakim Konstitusi memberikan waktu 14 hari untuk para Pemohon memperbaiki permohonannya. Perbaikan permohonan paling lambat diterima MK pada Rabu 26 Maret 2025.
Baca selengkapnya: Perkara Nomor 16/PUU-XXIII/2025
Penulis: Utami Argawati
Editor: N Rosi.
Humas: Fauzan F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi