Hak Imunitas Jaksa Tanpa Batasan Jelas

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang berlangsung di Ruang Sidang MK pada Rabu (5/3/2025).

Para pemohon dalam perkara ini adalah advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra. Mereka mengujikan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Dalam persidangan, kuasa hukum pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat, menyampaikan ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa, sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.

“Pasal ini menimbulkan imunitas yang absolut bagi jaksa, sehingga kontrol atau pengawasan terhadap kerja-kerja jaksa sulit dilakukan. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, praktik ‘super power’, hingga tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, harus ada batasan yang jelas atas hak imunitas yang melekat pada aparat penegak hukum,” ujar Ibnu di hadapan majelis hakim.

Pemohon juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.

Menurut Pemohon, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). “Frasa ini sangatlah karet dan tidak berkepastian hukum. Mudah saja dengan adanya Pasal tersebut, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh jaksa, kemudian didalilkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,” tegasnya.

Dalam permohonannya, pemohon menyampaikan berbagai argumen terkait tinjauan umum hak imunitas, praktik penerapannya di Indonesia, serta risiko hak imunitas tanpa batas yang dapat berujung pada impunitas. Berdasarkan hal tersebut, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.

 

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk memperbaiki permohonan agar lebih sistematis dan komprehensif. Terutama dalam menjelaskan kedudukan hukum pemohon serta hubungan sebab-akibat yang menimbulkan kerugian konstitusional sebagai advokat.

“Syarat dalam menentukan kerugian dan/atau kewenangan konstitusional harus dijelaskan secara komprehensif. Saat ini, Pemohon hanya menguraikan kedudukannya sebagai warga negara yang berprofesi sebagai advokat, tetapi belum dijelaskan lebih lanjut mengenai kerugian yang dialami,” ujar Daniel.

Di akhir sidang, majelis hakim memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan diterima oleh MK paling lambat pada Selasa 18 Maret 2025.


Baca selengkapnya: Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025



Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi.

Humas: Tiara Agustina.


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi