Trauma Akibat Lakalantas, Keluarga Korban Minta Ada Aturan Kewajiban Pemulihan Kesehatan Mental

JAKARTA, HUMAS MKRI – Kecelakaan lalu lintas (lakalantas) yang tidak hanya menyebabkan trauma secara fisik, tak jarang pula menyisakan trauma psikologis bagi korban. Atas dasar inilah,  Muhammad Yahya Azaria yang pernah menyaksikan langsung lakalantas yang dialami oleh orangtuanya mengalami trauma psikologis berkepanjangan, memohonkan agar adanya aturan yang mewajibkan setiap rumah sakit untuk menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi keluarga korban lakalantas. Permohonan tersebut diajukan Pemohon dalam Perkara Nomor 186/PUU-XXII/2024 yang disidangkan oleh Panel Hakim yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah sebagai hakim anggota pada Selasa (4/3/2025).

Pemohon menceritakan bahwa dua tahun yang lalu, Pemohon mengalami dampak trauma mendalam akibat tragedi kecelakaan yang menimpa orang tuanya. Hal ini berdampak bagi Pemohon yang memerlukan waktu sekurang-kurangnya tiga bulan untuk memperoleh kembali suasana kehidupan normal. Oleh karenanya, Pemohon mengajukan uji Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal tersebut menyatakan, “a. Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah; b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.”

Lebih jelas Pemohon menyatakan, bahwa dukungan psikologis menjadi bagian yang sangat penting dalam proses pemulihan. Sebab tanpa adanya layanan pendampingan psikologis yang memadai, Pemohon dan keluarga korban lainnya akan menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dalam mengatasi trauma. Oleh karena itu, Pemohon sangat berharap agar sistem layanan kesehatan di Indonesia dapat diubah dan diperbaiki untuk mencakup layanan pendampingan psikologis bagi keluarga korban kecelakaan. Sebab, dalam kurun waktu tiga bulan tersebut, Pemohon merasakan kesulitan berpikir, ketakutan akan kehilangan, trauma yang sangat mendalam, dan kecenderungan untuk menutup diri dari dunia luar. Meskipun Pemohon terus merawat orang tua Pemohon sebagaimana seharusnya, hal ini juga menambah beban psikis yang dirasakan Pemohon.

“Untuk itu, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 240 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut: a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah; b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas; c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi; dan d. ‘Pemerintah wajib menyediakan layanan pendampingan psikologis bagi korban kecelakaan lalu lintas, anggota keluarga korban, dan/atau pihak yang terdampak’,” ucap Yahya dalam sidang yang diikutinya secara daring. 

Tambahan Norma

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Panel Hakim menyebutkan permohonan yang diajukan Pemohon memnuat banyak dasar pengujian, sehingga perlu menjabarkan keterkaitannya dengan norma yang diujikan pada perkara ini.

“Semakin banyak batu uji, maka persoalan konstitusionalitas normanya perlu diterangakan satu per satu. Berikutnya Pemohon perlu menambahkan perbandingan dengan negara lain menyoal perlu ada tambahan norma dengan alasan filosofis dan sosiologis,” jelas Daniel.

Kemudian Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memberikan catatan mengenai tambahan norma yang diinginkan sebagai bentuk hak korban. “Baca struktur normannya, apakah itu tepat dengan hak korban dan pada pasal berikutnya ingin ada kewajiban pemerintah, sementara itu anda ingin memasukkan kewajiban pemerintah ini pada rumpun hak korban. Sebab ini bisa tidak tepat penempatan kewajiban pemeirntah di dalam rumpun hak korban, padahal ada pasal tentang kewajiban dan hak pemerintah pada pasal sebelumnya,” terang Guntur.

Sementara Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa pasal yang diujikan merupakan hak bagi korban kecelakaan secara langsung bukan kepada pihak-pihak lain yang merasa terdampak dari derita korban. “Apakah tepat perluasan ini diberikan kepada pemerintah dirumpun hak korban? Ini padahal bisa juga berkaitan dengan kelalaian pemerintah atau layanan asuransi. Bagaimana pemerintah memperhatikan jalan raya agar tidak menimbulkan kecelakaan lalu lintas ini seperti memastikan tidak ada jalan yang berlubang yang mengakibatkan orang luka, jatuh, bahkan meninggal? Apakah ini tepat memperluas meminta ada beban pemerintah untuk menangani persoalan pemulihan bagi korban dan anggota keluarga yang terdampak?” saran Ketua MK Suhartoyo.

Sebelum mengakhiri persidangan,  Ketua MK Suhartoyo mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan selama 14 hari mendatang. Sehingga dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Senin, 17 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Untuk selanjutnya Mahkamah akan mengagendakan sidang berikutnya berupa mendengarkan perbaikan permohonan Pemohon. (*)

Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi