Pensiunan Kemlu Tuntut Pembayaran Gaji Pokok

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sejumlah pensiunan pegawai yang pernah ditugaskan ke beberapa negara di luar negeri mengajukan uji ketentuan pembayaran gaji pokok dalam negeri lewat waktu yang termuat pada ketenuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan diajukan Kusdiana (Pemohon I), Hari Budiarto (Pemohon II), Khaerul Anwar Bratawijaya (Pemohon III), Hari Tjahyono (Pemohon IV), dan Sarwono (Pemohon V). Para Pemohon merupakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu).

Pasal 40 UU 1/2004 ayat (1) menyatakan, “Hak tagihan mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.” Pasal 40 UU 1/2004 ayat (2) menyatakan, “Kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa.”

Menurut para Pemohon menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (4), dan Pasal 28I ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 184/PUU-XXII/2024 ini dilaksanakan di MK pada Selasa (04/03/2025). Dalam persidangan, para Pemohon didampingi kuasa hukum Viktor Santoso Tandiasa, Agustine Pentrantoni Penau, dan Azyumardi Arza.

Agustine Pentrantoni Penau menyebutkan bahwa penghentian pemberian gaji pokok (gaji dalam negeri) kepada pegawai negeri pada instansi pemerintah yakni Kementerian Luar Negeri diawali dengan penerbitan Surat Edaran (SE) Nomor 015690 tanggal 16 Oktober 1950. Aturan ini yang kemudian menjadi landasan bagi tidak dibayarkannya gaji pokok (gaji dalam negeri) para Pegawai Kementerian Luar Negeri. Pertimbangan penghentian tersebut berkaitan dengan terbatasnya persediaan devizen dan kebijakan tersebut diberlakukan sembari menunggu keputusan yang definitif.

Artinya, sambung Agustine, sifat dari SE tersebut hanyalah sementara hingga terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 200 Tahun 1961 dengan perubahan-perubahannya dan UU 18/1961 dengan perubahan-perubahannya, yang di dalamnya memuat pemberian gaji pokok dan tunjangan-tunjangan termasuk pemisahan antara hak atas gaji pokok dan hak atas tunjangan-tunjangan kepada pegawai negeri. Akan tetapi pada kenyataannya, pasca-terbitnya PP 200/1961 dan UU 18/1961 terhadap semua Pegawai Negeri di Kementerian Luar Negeri tetap dilakukan penghentian pemberian gaji pokok (gaji dalam negeri) selama bekerja dalam penugasan ke perwakilan RI di luar negeri. Barulah kemudian pada 2 Juli 2014 terbit Surat Nomor R-05604/KEMLU/140702 yang menjelaskan tentang pembayaran gaji pokok (gaji dalam negeri) bagi homestaff yang bertugas pada perwakilan RI di luar negeri.

Namun demikian bagi Para Pemohon yang diberangkatkan ke perwakilan RI d luar negeri sebelum 1 Januari 2013 tidak mendapatkan gaji pokok (gaji dalam negeri), sementara pegawai yang diberangkatkan ke perwakilan RI di luar negeri setelah 1 Januari 2013 mendapatkan gaji pokok (gaji dalam negeri). Bahkan Pemohon II (Hari Budiarto) yang diberangkatkan ke Hongkong pada 10 Oktober 2013 tetap tidak mendapatkan haknya dari 1 Januari 2013–10 Oktober 2013 karena yang bersangkutan diberangkatkan pada 23 Februari 2009.

“Gaji pegawai merupakan belanja pegawai yang pembayarannya dilaksanakan setiap bulan, sehingga belanja pegawai tidak termasuk dalam kategori beban negara (bukan utang negara) yang mesti ditagih terlebih dahulu dan tidak dapat mengalami kedaluwarsa,” jelas Viktor dari Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK. 

 

Argumentasi Hukum

Dalam persidangan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Panel Hakim memberikan catatan untuk perbaikan permohonan. Salah satunya, para Pemohon diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi pada 1961 tentang penugasan ke luar negeri yang dijalani para Pemohon guna menguatkan argumentasinya.

“Uraikan pula gaji pokoknya dan/atau tunjangannya berapa sesuai dengan negaranya. Ini agar bisa memberikan pemahaman kepada hakim secara komprehensif,” kata Daniel.

Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menasihati para Pemohon agar memperhatikan keberlakuan gaji pokok dalam negeri, apakah sudah diperhitungkan dalam tunjangan penghasilan luar negeri pada saat dibuatnya surat edaran 1950 tersebut. “Sehingga Hakim perlu mendapatklan dokumen lengkapnya,” sampai Guntur.

Berikutnya Ketua MK Suhartoyo menyebutkan, pasal yang diujikan tersebut sudah pernah dimaknai oleh MK dalam Putusan Nomor 15/PUU-XIV/2016 dan Putusan Nomor 18/PUU-XV/2017. Para Pemohon  perlu memperhatikan kedua putusan tersebut.

“Dalam putusan ini tentang political will negara saja, apakah komponen gaji dalam negeri sudah termasuk di dalam komponen tunjangan di luar negeri, takutnya negara memberikan kewajiban dua kali. Sebenarnya dalam hal upah/gaji itu tidak mengenal kedaluwarsa,” terang Suhartoyo.

Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 17 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda menerima perbaikan permohonan para Pemohon.


Baca selengkapnya: Perkara Nomor 184/PUU-XXII/2024



Penulis: Sri Pujianti.

Editor: N. Rosi.


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi