Ketentuan Eksekusi dalam UU Kekuasaan Kehakiman Minta Diinterpretasi

JAKARTA, HUMAS MKRI – Frendys Eka Luki Putra sebagai perseorangan warga negara mengajukan uji materil Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) dan Pasal 206 ayat (1) Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg) yang diundangkan dan divalidasi dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Bahrul Ilmi Yakup selaku kuasa hukum Pemohon menilai Pasal 54 ayat (2) yang menyatakan “Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan” dan Pasal 206 ayat (1) RBg yang menyatakan, “Pelaksanaan hukum (eksekusi) perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dalam tingkat pertama dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan ketua menurut cara yang ditentukan dalam pasal-pasal berikut,” bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dalam kasus konkret, Pemohon mengalami kerugian akibat tindakan eksekusi dan lelang yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri Pontianak, Agung Wibowo yang telah sengaja merekayasa eksekusi lelang putusan pengadilan dengan cara memasukkan SHM milik Pemohon dalam Penetapan Perintah Eksekusi Lelang. Padahal Pemohon sama sekali tidak terlibat dalam perkara perdata yang dieksekusi tersebut dan bahkan terhadap tanah kosong milik Pemohon tidak pernah pula dijatuhi sita eksekusi. Akibat dari perbuatan ini, Agung Wibowo selaku eksekutor diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dan dijatuhi sanksi menjadi hakim non-palu selama dua tahun.
“Ternyata di jajaran Mahkamah Agung (MA) terjadi distorsi pelaksanaan kekuasaan kehakiman, kegagalan MA untuk mewujudkan keadilan itu nyata terjadi, dalam eksekusi perkara perdata ada rekayasa oleh Pengadilan Negeri Pontianak atas harta orang yang tidak terkait dengan perkara. Ini terjadi rumusan norma eksekusi dalam UU Kekuasaan Kehakiman sangat sumir dan tidak lengkap serta tidak diimbangi bagaimana ekseskusi itu dilakukan. Oleh karena itu, kami meminta untuk memberi interpretasi atas makna dari eksekusi harus dilakukan sesuai aturan hukum,” jelas Bahrul dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 8/PUU-XXIII/2025 yang dilaksanakan pada Rabu (5/3/2025).
Argumentasi Hukum
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memberikan catatan terkait perlu Pemohon untuk memperkuat bagian argumentasi inkostitisonalitas norma dengan UUD NRI Tahun 1945. “Kalau bisa diperkaya dengan doktrin hukum universal terkait tindakan eksekusi dalam putusan perkara perdata. Kemudian pada sistematika permohonan ini ada bagian yang tidak lazim (permohonan tambahan), maka perlu dilebur saja ke dalam bagian dalil-dalil permohonan pada bagian posita,” saran Daniel.
Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menyebutkan sistematika permohonan Pemohon dinilai lebih banyak dari permohonan yang lazim diajukan ke MK. Oleh karenanya perlu Pemohon memperhatiakn kembali PMK 2/2021.
“Kemudian Pemohon juga perlu menguraikan kerugian konstitusionalnya, sebab yang diuraikan baru kerugian faktual dari pelaksanaan sebuah norma. Jangan-jangan ini wilayah implementasi, apakah ini tepat diajukan ke MK?” tanya Guntur.
Kemudian Ketua MK Suhartoyo mempertanyakan kembali kepada Pemohon terkait norma yang diujikan benar berhubungan dengan inkonstitusionalitas norma atau implementasi norma. “Pada penyitaan yang sah biasanya didaftarkan atau diumumkan di kantor camat, kelurahan, BPN agar publik tahu. Apabila ada yang haknya terlanggar, maka bisa mengajukan perlawanan. Lalu akan ada peringatan sebelum pengadilan melakukan ekseskusi, persoalannya bagaimana pada titik eksekusi dan terhadap objek ekseskusi yang ikut tereksekusi harus mengajukan gugatan baru. Maka perlu berikan argumentasi yang dapat menguatkan hakim atas pendapat Pemohon terhadap persoalan ini,” terang Ketua MK Suhartoyo.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan Pemohon dapat melakukan penyempurnaan permohonan selama 14 hari ke depan. Untuk kemudian naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 18 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan mengagendakan sidang mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi