Kenaikan PPN 12 Persen Dinilai Langgar Konstitusi

 

JAKARTA, HUMAS MKRI – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 % ke 11% dan 12% yang menuai pro dan kontra di masyarakat berujung dengan diujinya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Nurul Agna Pratama  selaku Pemohon menilai kenaikan tersebut membawa dampak buruk bagi kalangan kelas menengah dan menengah ke bawah. Dalam permohonan untuk Perkara Nomor 1/PUU-XXIII/2025 ini, Pemohon mengujikan ketentuan tersebut yang tercantum pada Pasal 7 ayat (1) butir (a) dan (b) serta Pasal 7 ayat (3) UU HPP.

Dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat ini, Agna menjelaskan bahwa ketiga pasal yang diujikan tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pemohon berpandangan kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022 telah menimbulkan banyak permasalahan di bidang ekonomi. Salah satunya banyaknya usaha kecil ataupun menengah yang gulung tikar. Untuk itu, Pasal 7 ayat (1) butir (a) dan (b) UU HPP sangat perlu dibatalkan, sekaligus dengan Pasal 7 ayat (3) UU HPP yang perlu diubah bunyinya karena sangat memungkinkan di dalamnya disebutkan menaikkan PPN hingga 15%.

“Berdasarkan seluruh uraian tersebut, Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 ayat (1) butir (a) dan (b) serta Pasal 7 ayat (3) UU HPP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 33 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1). Menyatakan Pasal 7 ayat (3) dimohonkan pengujiannya bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memaknai ‘minimum PPN 0% dan tidak boleh lebih dari 10%’ atau lebih baik lagi PPN 0%,” ucap Pratama membacakan petitum permohonannya.

Kerugian Konstitusional

Terhadap permohonan Pemohon ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat Sidang Panel mengatakan perlu memperjelas kedudukan hukumnya. “Apakah ada hak yang diberikan UUD NRI 1945 terkait dengan keterlanggaran atau kerugian Pemohon yang bersifat potensial atau aktual dari keberlakukan PPN ini dan adakah hubungan sebab akibatnya dan buat rumusan kesimpulan dari anggapan kerugian yang dialami,” jelas Hakim Konstitusi Enny dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan yang digelar MK pada Rabu (5/3/2025).

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah melalui nasihat persidangan mengungkapkan perlu bagi Pemohon untuk mempelajari sistematika yang baik dalam permohonan perkara pengujian undang-undang di MK. “Terkait pasal yang dipersoalkan harap dipelajari baik-baik tentang pajak dan pungutan lainnya, artinya apa yang dikehendaki Pemohon sudah masuk dalam rentang 5 – 15%. Jika Pemohon ingin memperjuangkan ke MK harus ada prinsip dasar dari norma/ketentuan tersebut melanggar konstitusi,” terang Guntur.

Hakim Konstitusi Arief meminta agar Pemohon mempelajari betul sistematika permohonan pengujian undang-undang di MK. “Permohonan dengan format ini sangat mudah diputuskan dengan kabur, namun ini masih dapat diperbaiki dengan bekerja keras dalam waktu dua minggu untuk memperbaikinya,” saran Arief.

Pada akhir persidangan, Hakim Konstitusi Arief mengatakan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 18 Maret 2025. Untuk kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikut dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fauzan Febriyan

Source: Laman Mahkamah Konstitusi