Tumpang Tindih Kewenangan Kolegium dan Perguruan Tinggi dalam Penerbitan Sertifikat Kompetensi

JAKARTA, HUMAS MKRI – Rektor Universitas Fort De Kock Evi Hasnita, Rektor Institut Teknologi Kesehatan dan Sains Wiyata Husada Samarinda Eka Ananta Sidharta, dan Ketua Perkumpulan Aliansi Perguruan Tinggi Kesehatan Indonesia Gunarmi memohonkan uji materiil Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 13/PUU-XXIII/2025 ini digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo pada Senin (10/3/2025).

Pasal 213 ayat (2) UU Kesehatan menyatakan, “Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan Kolegium”. Pasal 213 ayat (4) UU Kesehatan menyatakan, “Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi”. Pasal 220 ayat (5) UU 17/2023 menyatakan, “Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Kolegium”.

Dalam penyampaian pokok-pokok permohonan, Guntur Abdurahman selaku kuasa hukum para Pemohon mengungkapkan Pasal 213 ayat (2), Pasal 213 ayat (4) dan Pasal 220 ayat (5) UU Kesehatan tersebut dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Norma-norma tersebut berakibat pada hilangnya kemerdekaan dan otonomi perguruan tinggi dan terjadinya tumpang tindih kewenangan perguruan tinggi dengan kewenangan lembaga selain perguruan tinggi yang seharusnya tidak memiliki wewenang (kolegium).

“Dengan berlakunya tiga norma tersebut telah terjadi kerugian kontitusional karena kewenantan perguruan tinggi selaku penyelenggara pendidikan seharusnya diberikan otonomi dan tupoksi yang jelas rumpun kewenangannya. Saat ini tidak terjadi, justru kewenangan yang sudah ada diambil paksa oleh organ yang bernama kolegium,” jelas Guntur.

Pada intinya, kolegium tidak berwenang untuk menyelengarakan proses pendidikan kesehatan bagi mahasiswa kesehatan, baik untuk melaksanakan uji kompetensi mahasiswa kesehatan maupun menerbitkan sertifikat kompetensi bagi mahasiswa kesehatan yang telah lulus uji kompetensi. Sejatinya, kolegium merupakan organ yang dibentuk oleh organisasi profesi dan berbentuk forum kepakaran, sehingga dapat berperan dalam menentukan standar dan kualitas tenaga kesehatan dan tenaga medis di Indonesia dan bukan mengambil alih kewenangan Perguruan Tinggi sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dalam menerbitkan Sertipikat Kompetensi kepada peserta didik.

Oleh karenanya, para Pemohon menilai sangat penting adanya pembagian dan pembatasan yang jelas oleh undang-undang terhadap kedudukan dan fungsi suatu badan dengan batasan kewenangan masing-masing diatur secara tegas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan tidak multitafsir. Selain itu, agar Penyelenggara Pendidikan Kesehatan tidak bingung bahkan keliru mengambil tindakan yang akan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidakpastian dalam penerbitan sertifikat kompetensi bagi peseta didik antara Kolegium dan Perguruan Tinggi.

Berdasarkan seluruh uraian tersebut, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 213 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara Pendidikan”; menyatakan Pasal 213 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan program profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh sertifikat profesi dan sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi atau suatu Lembaga Penyelenggara Pendidikan yang terkareditasi”; dan menyatakan Pasal 220 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menyatakan “Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh Kolegium” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sistematika Permohonan

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihat Hakim Panel mengatakan perlu para Pemohon untuk memahami PMK 2/2021 yang memuat sistematika permohonan yang diajukan di MK, mulai dari hierarki penempatan kewenangan-kewenangan hingga aturan teknis dari PMK. Berikutnya, para Pemohon juga diminta agar menguraikan politik hukum dalam perencanaan UU Kesehatan, guna menyakinkan para hakim atas pembahasan dari penyusunan norma ini.

Sementara itu, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta agar para Pemohon menjelaskan fungsi dari kolegium. “Lihatlah perbandingan di luar negeri, bagaimana kolegium-kolegium itu maka harus dikemukakan, ambil contoh di beberapa negara. Apakah kolegiumnya sampai pada penerbitan sertifikat kompetensi,” jelas Guntur.

Sebelum menutup sidang, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 24 Maret 2025 ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan para Pemohon.(*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini Sayu Fauzia

Source: Laman Mahkamah Konstitusi