Mantan Napi Persoalkan Frasa “Tidak Pernah Dipidana" dalam Tujuh Undang-Undang

JAKARTA, HUMAS MKRI – Gama Mulya (Pemohon I) dan Helmi (Pemohon II) dalam Permohonan Nomor 241/PUU-XXIII/2025 mengajukan uji materiil tujuh undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pemeriksaan Pendahuluan permohonan ini digelar Sidang Panel MK yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, pada Senin (15/12/2025) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Adapun undang-undang yang diujikan yakni Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Notaris), Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN).

Pemohon I merupakan mantan narapidana yang telah selesai menjalani pidana. Namun secara faktual dirinya berpotensi terus mengalami kebuntuan akses terhadap profesi, pekerjaan, dan pendidikan akibat berlakunya frasa pada pasal-pasal a quo. Berikutnya Pemohon II merupakan mahasiswa pascasarjana hukum dan warga negara yang hendak melamar pada profesi hukum, jabatan publik, dan program pendidikan milik negara. Oleh karenanya, Pemohon II memiliki kepentingan langsung untuk memastikan syarat yang membatasi akses atas dirinya dalam hal-hal tersebut sesuai dengan UUD 1945 dan tidak memberikan ruang diskriminasi terhadap dirinya maupun warga negara lain.

Gama dalam persidangan menjelaskan bahwa frasa "tidak pernah dipidana" dan frasa sejenis dalam pasal-pasal yang diujikan menciptakan pembedaan yang bersifat permanen terhadap kelompok mantan narapidana. Mereka hanya dinilai berdasarkan status hukumnya di masa lalu, tanpa memperhatikan jenis tindak pidana, lamanya pidana, proses rehabilitasi, maupun perilaku aktual setelah menjalani pidana. Pembedaan ini menurut para Pemohon merupakan diskriminasi yang dilarang Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Di samping itu, para Pemohon menilai frasa pada pasal-pasal yang diujikan dalam permohonan ini menjadikan pidana penjara sebagai dasar hukuman sosial lanjutan yang tidak terbatas waktu. akibatnya menghalangi akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Sehingga hal demikian dinilai bertentangan dengan asas kemanusiaan yang adil dan beradab serta merusak tujuan pemasyarakatan untuk mengembalikan mantan narapidana sebagai anggota masyarakat yang berguna.

Berikutnya para Pemohon juga berpandangan frasa pada pasal-pasal yang diujikan menutup akses pendidikan dan beasiswa bagi mantan narapidana. Hal ini sejatinya bertentangan dengan hak atas pendidikan sebagaimana termuat pada Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan asas inklusivitas pendidikan. Bahkan frasa "tidak pernah terlibat tindak pidana" yang dipakai sebagai syarat umum untuk beasiswa dan program pendidikan negara tersebut menjadikan pendidikan sebagai hak yang bersyarat moral di luar putusan hakim. Padahal UUD 1945 tidak memberikan ruang bagi pencabutan hak pendidikan secara permanen terhadap mantan narapidana.

“Terhadap dalil-dalil tersebut, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan: a) Pasal 3 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; b) Pasal 3 huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014; c) Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; d) Pasal 7 huruf b angka 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; e) Pasal 11 huruf d dan Pasal 12 huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; f) Pasal 33 huruf h dan huruf i Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024; g) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang mensyaratkan bahwa anggota organ-organ BUMN, Badan Pengelola Investasi, Holding Investasi, maupun Holding Operasional tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan; adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Gama membacakan petitum permohonan secara daring.

 

Sistematika Permohonan

Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihat Sidang Panel mengatakan para Pemohon perlu membaca dan memahami sistematika permohonan yang terdapat pada Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 7/2025). “Pada permohonan ini ada tujuh undang-undang yang diujikan, jika ketujuhnya diajukan ke MK harus kuat argumentasinya karena norma yang ada ini harus ada kerugian konstitusional dari keberlakuan norma-norma tersebut. Jadi, disesuaikan dengan standar sistematika yang ada pada PMK tersebut dan melihat contoh permohonan yang dikabulkan, bagaimana cara merumuskan sebuah permohonan,” jelas Daniel menasihati.

Kemudian Hakim Konstitusi Guntur menasihati agar para Pemohon menjelaskan kedudukan hukum masing-masing. “Sebagai mantan narapidana perlu diceritakan dan pernah melamar kerja lalu gagal. Jika ada buktinya perlu diperlihatkan agar tampak keberadaan pasal-pasal terkait langsung dengan kerugian konstitusional Pemohon. Perlu hal konkret yang dialami dan dijelaskan secara komprehensif, baik untuk Pemohon I dan II. Apakah ada kekhawatiran dari Pemohon II. Jadi, tidak hanya secara sepintas saja, nanti malah Mahkamah tidak bisa melihat keterkaitannya,” terang Guntur.

Pada akhir persidangan Ketua MK Suhartoyo mengatakan, para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah permohonan yang telah disempurnakan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Senin, 29 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.


Jelajahi Jejak: Permohonan Nomor 241/PUU-XXIII/2025



Penulis: Sri Pujianti.

Editor: N. Rosi.


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi