Profesor Pertegas Kerugian Konstitusional Ketentuan Batas Usia Pensiun dan Pengabdian Dosen Purnatugas

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan permohonan M. Havidz Aima, seorang dosen bergelar profesor yang mengujikan konstitusionalitas batas usia pensiun dan pengabdian seorang dosen purnatugas yang termuat dalam Pasal 67 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sidang Permohonan Nomor 226/PUU-XXIII/2025 dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada Senin (8/12/2025).

Havidz menyebutkan telah memperbaiki kedudukan hukum Pemohon terkait dengan kemampuan seorang profesor senior, sehingga pembatasan pensiun ini memutus proses reflektif ilmiah. Mengutip para ahli, Havidz mengatakan profesor memegang peran sentral dalam perkembangan ilmu karena memiliki pemahaman panjang, menguasai sejarah dan perkembangan keilmuan, memahami akal persoalan ilmiah yang tidak terlihat oleh peneliti muda.

“Demi tegak keadilan konstitusional, perkembangan ilmu pengetahuan, Pemohon memohon agar Mahkamah Konstitusi berkenan mengabulkan permohonan Pemohon ini,” kata M. Havidz Aima yang merupakan dosen tetap pada Universitas Putra Indonesia YPTK Padang, saat menyampaikan petitium di  Sidang Pleno, Gedung 1 MK.


Baca juga:

Profesor Persoalkan Tumpang Tindih Ketentuan Batas Usia Pensiun dan Pengabdian Dosen Purnatugas


Sebelumnya M. Havidz Aima selaku dosen bergelar profesor dalam Permohonan Nomor 226/PUU-XXIII/2025 mengujikan konstitusionalitas batas usia pensiun dan pengabdian seorang dosen purnatugas yang termuat dalam Pasal 67 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen ke MK. Dalam siding perdana di MK, Selasa (25/11/2025). Havidz menyebutkan terdapat aturan yang tumpang tindih sebagaimana terlihat pada Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Permen Ristekdikti) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 26 Tahun 2015 tentang Registrasi Pendidik pada Perguruan Tinggi.

Pasal 67 ayat (4) UU Guru dan Dosen menyatakan, “Pemberhentian dosen karena batas usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada usia 65 (enam puluh lima) tahun.”

Pasal 67 ayat (5) UU Guru dan Dosen menyatakan, “Profesor yang berprestasi dapat diperpanjang batas usia pensiunnya sampai 70 (tujuh puluh) tahun.”

Pemohon menyebutkan telah dikontrak dengan Surat Perjanjian Kerja akan berakhir pada 31 Juli 2032. Dalam hal ini, Surat Perjanjian Kerja tersebut mengacu pada Permenristekdikti Nomor 2 Tahun 2016, bahwa seorang Profesor dapat mengabdi sampai dengan umur 79 tahun. Sementara pada Undang-undang Guru dan Dosen, pemberdayaan dosen dengan pangkat akademik tertinggi Profesor akan disesuaikan dengan Undang-Undang Guru dan Dosen yakni hanya sampai dengan batas waktu 70 tahun. Fakta demikian, dinilai tak hanya merugikan Pemohon sebagai dosen, tetapi juga merugikan bangsa, negara, dan rakyat yang membutuhkan seorang profesor yang berkualitas.

Adanya dualisme ketentuan yang sangat berbeda dalam praktik di tingkat Perguruan Tinggi, khususnya dosen dalam melihat dari pada ayat (8) bagi dosen yang purnatugas, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam rentang usia 70 (tujuh puluh) tahun – 78 (tujuh puluh delapan) tahun yang purnatugas dengan jabatan akademik terakhir adalah Profesor dan 65 (enam puluh lima) tahun – 69 (enam puluh sembilan) tahun bagi purnatugas dengan jabatan akademik selain Profesor.  


Jelajahi Jejak: Permohonan Nomor 226/PUU-XXIII/2025


 


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: N. Rosi.


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi