Notaris Pertegas Landasan Konstitusional Kewenangan Membuat Akta Pertanahan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang terhadap permohonan uji materiil tiga undang-undang sekaligus, yakni Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris); Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan); dan Pasal 44 ayat (1) dan penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (UU Rusun).
Sidang kedua dari Perkara Nomor 72/PUU-XXIII/2025 ini beragendakan mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon yang digelar pada Selasa (3/6/2025). Disebutkan Anisitus Amanat yang berprofesi sebagai notaris (Pemohon) telah memperbaiki kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara a quo, menegaskan bahwa norma a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena dikaitkan dengan kewenangan atau hak notaris dalam membuat akta pertanahan. Selain itu, Pemohon juga menyempurnakan bagian legal standing Pemohon dan dua rekannya yang telah dirugikan sebagai PPAT karena surat permohonan perpanjangannya ditolak. Kemudian Pemohon juga memperbaiki bagian alasan permohonan.
“Menyatakan norma hukum pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan karennaya tidak memiliki keutan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai bahwa notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, yang terdiri dari akta jual beli hak atas tanah, hak tukar-menukar atas tanah, … akta pembagian hak bersama atas tanah, yang wajib digunakan kantor pertanahan sebagai dokumen utama untuk melaksanakan pendaftaran peralihan hak atas tanah selain pendaftaran perubahan karena putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan berita acara lelang eksekusi,” ucap Anisitus membacakan perubahan petitum permohonan Pemohon dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai hakim anggota Sidang Panel dilaksanakan di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Kewenangan Notaris Membuat Akta Pertanahan
Pada Sidang Pendahuluan yang digelar pada Rabu (21/5/2025) lalu. Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Jabatan Notaris bermakna notaris mempunyai hak dan kewajiban untuk membuat semua jenis akta yang berkaitan dengan pertanahan, sepanjang UU Jabatan Notaris atau UU sektoral lain tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Namun kewenangan demikian tidak dapat dilaksanakan karena pemerintah/negara lebih mengutamakan PPAT untuk melaksanakannya. Padahal legal standing PPAT untuk kewenangan tersebut hanya didasarkan pada peraturan pemerintah dan tidak berdasarkan undang-undang.
Sementara berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Rusun, yang pada intinya proses jual beli Satuan Rumah Susun (sarusun) sebelum dibangun dapat dilakukan melalui Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang dibuat di hadapan Notaris. Kemudian sesuai Pasal 44 ayat (1) dan penjelasannya disebutkan proses jual beli sarusun setelah selesai dibangun dilakukan melalui akta jual beli yang dibuat dihadapan Notaris PPAT yakni notaris yang merangkap PPAT yang diatur dalam PP 37/1998 jo PP 24/2016. Dalam cermatan Pemohon, tidak terdapat peraturan lain yang mendasari eksistensi jabatan PPAT dalam khasanah hukum di Indonesia selain kedua PP tersebut. Dengan diberinya kewenangan tersebut kepada PPAT, menurut Pemohon berarti negara atau pemerintah menghalangi Notaris untuk melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. Dengan kata lain, negara atau pemerintah tidak mengakui hak notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.(*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina
Source: Laman Mahkamah Konstitusi