Mahasiswa Gugat UU TNI, Soroti Minimnya Partisipasi Publik dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Keresahan mahasiswa atas disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) berujung dengan uji formil dan materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk pertama kalinya, tiga panel hakim konstitusi secara simultan menggelar sidang uji formil maupun materiil UU TNI pada Jumat (9/5/2025) pagi di tiga ruang sidang yang berbeda.

Dalam panel yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Panel Hakim memeriksa empat perkara, sekaligus yakni Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 57/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025. Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menggelar sidang di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Muhammad Bagir Shadr (Pemohon I), Muhammad Fawwaz Farhan Farabi (Pemohon II), Thariq Qudsi Al Fahd (Pemohon III) dalam permohonan Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 mendalilkan UU TNI terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 20 ayat (1), Pasal 22A, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945. Disebutkan Stefanie Gloria selaku kuasa hukum para Pemohon, bahwa dalam Penjelasan Umum UU TNI diakui TNI sebagai kekuatan utama dalam pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Tugas TNI yakni mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, sehingga diperlukan penguatan tugas dan fungsi TNI.

Selanjutnya, Pemohon mendalilkan dalam rangka mendukung optimalisasi pencapaian tugas dan fungsi, kementerian/lembaga tertentu dapat melibatkan prajurit sesuai dengan kekhususannya. Hal inilah yang menjadi pertanyaan dari para Pemohon. Pembuat undang-undang dinilai tidak memberikan korelasi logis antara hubungan keutuhan dengan kedaulatan negara dengan pelibatan TNI ke dalam kementerian/lembaga tertentu atau menambah batas usia pensiun personel TNI.

Sebagai indikator, para Pemohon mengutip indikator asas “kejelasan tujuan” berdasarkan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Pedoman Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Nomor PHN-HN. 01.03-07. Bahwa parameter kejelasan tujuan pada efektivitas peraturan perundang-undangan yang dimaksud, di antaranya aspek rasio beban dan manfaat, aspek koordinasi kelembagaan/tata organisasi, dan aspek akses informasi masyarakat. Dengan demikian, para Pemohon berpandangan penyusunan UU TNI tidak menunjukkan efektivitas peraturan perundang-undangan, sehingga tidak memenuhi indikator “kejelasan tujuan” sebagaimana yang diamanatkan dalam UU P3.

Pembentukan UU TNI dapat dikatakan menggunakan pendekatan ends-means yang menjadi watak rezim autokrasi. Pembentukan normanya sangat cepat dan mengenyampingkan partisipasi publik dan justru menjadi sarana untuk mencapai tujuan untuk memperpanjang usia pensiun beberapa perwira tinggi. Di samping itu, buruknya kualitas naskah akademik serta penyerapan umpan balik masyarakat merupakan metode penyusunan kajian yang ditempuh oleh pembentuk undang-undang, sehingga proses pembentukannya menuai respons negatif dari masyarakat.

“Dalam Naskah Akademik pembentukan UU TNI juga tidak ditemukan adanya kajian empiris maupun identifikasi kebutuhan konkret masyarakat sipil terhadap perubahan pengaturan kewenangan TNI; tidak terdapat argumentasi berbasis data yang menunjukkan adanya krisis pertahanan, ketidakefektifan norma yang berlaku sebelumnya, ataupun kebutuhan sistemik untuk mengubah struktur atau peran TNI secara mendasar; tidak terdapat bukti bahwa pembentukan undang-undang ini akan memberikan manfaat langsung bagi kepentingan publik,” jelas Stefanie.

Cita-Cita Reformasi

Adapun para Pemohon Perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025, yakni Prabu Sutisna (Pemohon I), Haerul Kusuma (Pemohon II), Noverianus Samosir (Pemohon III), Christian Adrianus Sihite (Pemohon IV), Fachri Rasyidin (Pemohon V), dan Chandra Jakaria (Pemohon VI) mengajukan uji materiil Pasal 47 ayat (2) UU TNI terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal tersebut disinyalir dapat berdampak pada penyalahgunaan kekuasaan atas pengangkatan prajurit TNI pada jabatan-jabatan strategis di dalam pemerintahan. Pasal 47 ayat (2) UU TNI 2025 berbunyi, “Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.”

Berlakunya ketentuan tersebut dinilai sebagai bentuk penyalahgunakan kekuasaan oleh penguasa karena mengangkat prajurit TNI pada jabatan strategis yang hanya ditujukan untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan prinsip demokrasi. Bahkan jauh dari menjunjung prinsip supremasi sipil yang dicita-citakan pada masa reformasi 1998 sebagai bentuk pencegahan terhadap dwifungsi militer dalam menduduki jabatan sipil.

“Oleh karenanya, Pasal 47 ayat (2) UU TNI harus memperhatikan batasan sesuai dengan konsideran huruf d Tap MPR Nomor VI/MPR/2000 yang menyatakan ‘peran sosial politik dalam dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menyebabkan tejadinya penyimpangan peran dan fungsi Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berakibat tidak berkembangnya sendi­-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat’,” jelas Chandra.

Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia yang berbunyi “Selain menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau jabatan sipil lain setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Mengabaikan Asas Partisipasi Masyarakat

Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XXIII/2025 yaitu Muhammad Imam Maulana (Pemohon I), Mariana Sri Rahayu Yohana Silaban (Pemohon II), Nathan Radot Zudika Parasian Sidabutar (Pemohon III), dan Ursula Lara Pagitta Tarigan (Pemohon IV) ini mengajukan permohonan uji formil UU TNI. Ursula Lara mengatakan, proses pembentukan UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22A, serta Pasal 28D UUD NRI Tahun 1945 dan mengabaikan asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik.

Imam Maulana menegaskan, pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik tidak terbatas pada formalitas tahapan, tetapi juga harus menyertai partisipasi rakyat dalam setiap tahapannya sebagai amanat kedaulatan rakyat. Demikian halnya terkait pembentukan UU TNI ini sebagai manifestasi kehendak rakyat dan partisipasi rakyat di dalamnya adalah sebuah keniscayaan. Namun dalam proses pembentukannya tidak mengakomodasi partisipasi publik untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mencegah potensi tindakan sewenang-wenang dalam proses legislasi.

Atas dasar hal tersebut, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bertentangan dengan ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; dan menyatakan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang telah diubah atau dicabut dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 berlaku kembali.

Mencabut Permohonan

Sementara para Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XXIII/2025, yakni Bilqis Aldila Firdausi (Pemohon I), Farhan Azmy Rahmadsyah (Pemohon II), dan Lintang Raditya Tio Richwanto (Pemohon III) sejatinya mengajukan uji formil dan materiil dari Pasal Pasal 47 ayat (1) UU TNI. Namun pada persidangan ini, para Pemohon melakukan konfirmasi untuk mencabut permohonannya. “Kami memohonkan untuk mencabut permohonan ini. Kami mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya,” jelas Bilqis saat melakukan konfirmasi secara daring kepada Panel Hakim.

Untuk diketahui, dalam permohonan para Pemohon menyatakan pada pasal a quo memuat perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif tanpa harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Dalam UU TNI pasca-perubahan, menambah menjadi 15 instansi yang dapat diisi oleh prajurit TNI. Norma tersebut  telah kehilangan keabsahannya di mata masyarakat sebagai peraturan perundang-undangan. Sebab, muatannya ditujukan untuk melegitimasi kepentingan oligarki kekuasaan tanpa mempertimbangkan hak-hak dasar warga negara. Sehingga norma tersebut sejatinya telah memperlemah dan merusak eksistensi sistem demokrasi di masyarakat yang berpotensi besar merugikan hak-hak masyarakat.

Prioritas Uji Formiil

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel memberikan saran perbaikan kepada para Pemohon terkait uji formil yang menjadi prioritas terdapat tenggang waktu pengajuan permohonannya. “Setelah diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara, sehingga penting untuk diperhatikan agar disebutkan pada permohonan batas waktunya. Kemudian sistematika permohonan ada di PMK 2/2021, dan untuk pengujian formil selain menggunakan norma Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C ayat (1), UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, dan jangan lupa UU P3 perubahan terakhir dicantumkan serta Putusan MK yang menyatakan MK berwenang untuk pengujian formil dengan batas waktu,” terang Daniel.

Sementara Hakim Konstitusi Guntur memberikan catatan untuk Perkara Nomor 56/PUU-XXIII/2025 ada tiga Pemohon menunjukkan Mahasiswa UI yang aktif di kampus, namun tautan terkait berbagai informasi yang disebutkan pada permohonan tidak dapat diakses. Sehingga perlu memperhatikan hal teknis unutk memudahkan hakim dalam memastikan akses data yang ingin disajikan para Pemohon sebagai pendukung permohonan.

“Di samping itu, kedudukan hukum dari masing-masing Pemohon harus dijelaskan satu per satu, jika ada empat Pemohon maka seluruhnya harus diberikan uraiannya. Apalagi ini tidak ada kuasa, para Pemohon langsung yang hadir. Jadi perlu dijelaskan keterkaitan norma yang diuji dengan sebab akibat keberlakuannya,” jelas Guntur.

Berikutnya, Ketua MK Suhartoyo meminta para Pemohon untuk menyederhanakan permohonan dan bagi para Pemohon yang mengajukan uji formil, perlu memperhatikan legal standing dengan memperkuat argumentasi hukumnya. “Apakah cukup meaningful participation itu semua warga negara punya hak untuk itu dalam mengajukan uji undang-undang ini?” jelas Ketua MK Suhartoyo.

Usai memberikan nasihat kepada para Pemohon, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Kamis, 22 Mei 2025. Kemudian para Pemohon akan dijadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan. (*)

Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi