Musisi Pertegas Argumentasi Dualisme Kewenangan LMK dan LMKN dalam Pengelolaan Royalti

JAKARTA, HUMAS MKRI – Para musisi yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) kembali hadir ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang kedua uji materiil Pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada Rabu (7/5/2025). Para musisi dimaksud yakni M. Ali Akbar (Pemohon I), Ento Setio Wibowarno (Pemohon II), Pamungkas Narashima Murti (Pemohon III), Sugiyatno  (Pemohon (IV), Muhammad Gusni Putra  (Pemohon V), dan Anton Setyo Nugroho (Pemohon VI). Sidang Kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025 ini, dipimpin oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan dua anggota hakim konstitusi, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.

Anton Setyo Nugroho menyebutkan telah memperbaiki permohonan pada bagian pokok permohonan terutama tentang argumentasi dualisme kewenangan LMKN. Berikutnya Pemohon juga menambahkan pengujian atas Pasal 87, Pasal 92, dan Pasal 93 UU Hak Cipta yang dinilai tidak sejalan dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Bahwa pembentukan LMKN tanpa dasar hukum yang sah menimbulkan distorsi kelembagaan yang mencederai prinsip negara hukum yang digariskan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,” sebut Anton.

 


Baca juga:

Dualisme Kewenangan LMK dan LMKN dalam Pengelolaan Royalti Hak Cipta


Sebagai tanbahan informasi, para Pemohon I–IV adalah pencipta lagu, Pemohon V adalah penyanyi, dan Pemohon VI adalah penulis buku dan pecinta musik Indonesia sekaligus inisiator yang membentuk Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI). Dalam sidang pendahuluan di MK Kamis (24/4/2025), Anton Setyo Nugroho menyatakan bahwa norma yang diujikan tersebut telah gagal memberikan kepastian hukum terkait distribusi dan pengelolaan royalti pencipta lagu.

Ketidakjelasan regulasi ini, memungkinkan interpretasi liar yang melahirkan lembaga seperti Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Akibatnya terjadi pembelokan aturan dengan terbitnya PP 56/2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik, yang merugikan pencipta lagu dan pemilik hak terkait, serta menimbulkan ketidakadilan dalam praktik pengelolaan royalti  sebagaimana dijamin konstitusi pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 terkait prinsip kepastian hukum dan keadilan.

Menurut para Pemohon, norma-norma yang diujikan tersebut juga melanggar hak milik individu yang dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sejatinya hak ekonomi pencipta yang seharusnya dilindungi, rentan diambil alih oleh mekanisme yang tidak transparan dan tidak adil. Norma tersebut digunakan untuk memberikan kewenangan yang luas kepada LMKN untuk menarik dan menghimpun royalti, tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat. Sehingga hal ini berpotensi menjadi bentuk perampasan hak ekonomi yang bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, norma tersebut juga dinilai melanggar prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana dijamin Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sebab sentralisasi pengelolaan royalti melalui LMKN, tidak melibatkan pencipta secara langsung tersebut berpotensi melanggar prinsip demokrasi. Tidak terbuka ruang partisipasi pencipta lagu dalam menentukan besaran dan mekanisme pembagian royalti, sehingga mengabaikan prinsip kedaulatan rakyat dalam pengelolaan ekonomi kreatif. Norma tersebut dari beberapa aspek juga dirasa telah melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, karena pada Pasal 89 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Hak Cipta yang dijadikan dasar untuk membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tersebut padahal tidak ditemukan adanya amanat pembentukannya.

Pada Pasal 1 butir 22 UU Hak Cipta memberikan definisi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau Pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Lembaga ini diberikan hak untuk mengelola hak ekonomi atas suatu ciptaan, seperti lagu, musik, buku dan film, dan atau hak terkait seperti karya pertunjukan, karya rekaman, karya siaran, untuk mewakili dan atas nama pemegang hak.

Sementara pada Pasal 1 UU Hak Cipta tidak mengatur tentang keberadaan LMKN, sehingga lembaga ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas dalam pembentukan dan kewenangannya. Keberadaan LMKN berdampak terhadap ketidakpastian sosial bagi Pencipta dan Pemilik Hak Cipta. Dalam praktiknya, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) telah lama berfungsi sebagai wadah pencipta untuk mengelola hak ekonomi mereka secara mandiri. Sementara LMKN tidak memiliki legitimasi dalam UU Hak Cipta, justru terjadi dualisme kewenangan yang membingungkan para pencipta. Ketidakpastian dalam distribusi royalti akibat dualitas LMK dan LMKN membuat banyak pencipta kesulitan mendapatkan hak ekonomi karena keterlambatan pembayaran royalti.


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi