Hakim Ad Hoc PHI Uji Usia Pensiun

JAKARTA, HUMAS MKRI – Daud Salama, Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) di Pengadilan Negeri Surabaya, mengajukan uji materiil Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) terhadap Undang Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang Pendahuluan Perkara Nomor 49/PUU-XXIII/2025 ini digelar pada Rabu (7/5/2025) di Ruang Sidang Pleno, Gedung 1 MK.

Di hadapan sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan dua hakim anggota yakni Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah ini, Daud menyatakan Pasal 60 ayat (1) butir b dan Pasal 67 ayat (1) butir d UU PPHI bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1); dan Pasal 28 I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Daud mendalilkan adanya pembatasan usia pensiun yakni 62 tahun dalam Pasal 67 ayat (1) butir d UU PPHI tersebut berdampak baginya dalam memperoleh kesempatan yang sama untuk mengabdikan diri sebagai hakim ad hoc. Sebagai perbandingan, Pemohon memberikan ilustrasi terkait batas usia pensiun hakim ad hoc Tipikor.

“Pada jabatan Hakim Ad Hoc Tipikor itu tidak ada pembatasan usia pensiun, sedangkan Hakim Ad Hoc PHI adanya pembatasan usia pensiunnya, sehingga ketentuan ini bertentangan dengan Konstitusi terutama Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai perlindungan fundamental dan hak asasi untuk bekerja sesuai keahlian (Pemohon),” sebut Daud.

Terhadap dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya bahwa Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (Hakim PHI) tanpa batasan usia pensiun, selama masih sehat jasmani dan rohani selama masa periode 5 (lima) tahunan dan masa perpanjangannya. Pemohon juga memohon agar Mahkamah menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, yaitu Pasal 60 ayat (1) butir b bagi Hakim Ad hoc; dan Pasal 67 ayat (1) butir d telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi hakim ad hoc pada pengadilan PHI dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi Hakim Ad-hoc pada Mahkamah Agung.

Sistematika Permohonan

Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya meminta agar Pemohon memerhatikan PMK 2/2021 yang memuat sistematika permohonan pengujian undang-undang di MK. Kemudian Pemohon perlu mencermati legal standing Pemohon untuk dilengkapi, utamanya bagian pertentangan norma dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Semakin banyak batu uji, semakin banyak uraian terkait pertentangan normanya. Di dalam ini juga belum diuraikan korelasi keberadaan PP 20/2016 dengan permohonan ini, karena kewenangan MK hanya menguji UU terhadap UUD NRI 1945, serta pada pokok permohonan, cermati putusan MK yang menyatakan hakim ad hoc itu bukan pejabat negara, jadi coba dibaca dan dicermati tentang sikap MK,” terang Hakim Konstitusi Daniel.

Sementara Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dalam nasihatnya memberikan masukan mengenai ketentuan yang mengatur batas usia pensiun hakim ad hoc dapat dijabarkan pada beberapa pengadilan lainnya. “Tak hanya hakim ad hoc pada pengadilan tipikor saja, dibuatkan tabel dan buatkan batas atas dan batas bawahnya. Ini bisa jadi pertimbangan, kalau perlu ada tabel, kita mau membandingkan sesama hakim ad hoc dan bukan hakim definitif,” jelas Hakim Konstitusi Guntur.

Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan dapat diserahkan selambat-lambatnya Selasa, 20 Mei 2025 ke Kepaniteraan MK. Kemudian akan dijadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.


Baca selengkapnya Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XXIII/2025


Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Humas: Fauzan F.

 


 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi