Tidak Jelas dan Kabur, Permohonan Uji UU Perpajakan Tidak Dapat Diterima

JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi terhadap Pasal 36 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Putusan tersebut disampaikan dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang berlangsung di Ruang Sidang MK, Gedung 1 MK, pada Jumat (21/3/2025). Permohonan ini diajukan oleh Surianingsih, seorang wajib pajak yang merasa dirugikan akibat ketentuan dalam peraturan tersebut. “Tidak menerima permohonan Pemohon,” ujar Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, MK menilai bahwa meskipun permohonan telah disusun sesuai dengan format sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU MK dan Pasal 10 ayat (2) huruf a dan b PMK 2/2021, terdapat ketidakjelasan dalam substansi permohonan.

Pemohon mengajukan agar jangka waktu penundaan pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Tagihan Pajak (STP) merujuk pada mekanisme keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU 28/2007 serta mekanisme banding dalam Pasal 27 UU 28/2007. Namun, MK menemukan bahwa petitum yang diajukan tidak selaras dengan posita permohonan, sehingga menyebabkan ketidakjelasan substansi hukum yang dimohonkan.

“Ketidaksesuaian antara posita dan petitum mengakibatkan permohonan Pemohon menjadi tidak jelas, tidak memiliki dasar hukum yang kuat, serta tidak relevan,” ujar Guntur.

Selain itu, MK juga menyoroti perubahan yang dilakukan dalam petitum permohonan. Semula, Pemohon hanya menguji inkonstitusionalitas Pasal 43 ayat (1) UU 14/2002. Namun, dalam perbaikan permohonan, Pemohon menambahkan Pasal 43 ayat (2), (3), dan (4) UU 14/2002. Mahkamah menilai bahwa Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertentangan antara norma yang diuji dengan dasar pengujiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b angka 3 PMK 2/2021.


Baca juga:
Menyoal Diskriminasi Jangka Waktu Pembayaran Utang Pajak
Pemohon Uji Jangka Waktu Pembayaran Utang Pajak Perbaiki Permohonan


Dalam permohonannya, Pemohon mengajukan keberatan terhadap ketentuan dalam UU Perpajakan dan UU Pengadilan Pajak yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak yang mengajukan upaya hukum. Pemohon menilai bahwa ketentuan tersebut menyebabkan diskriminasi hukum, di mana jalur keberatan dan banding memberikan hak penundaan pembayaran pajak hingga satu bulan setelah keputusan diterbitkan, sementara jalur pembatalan dan gugatan tidak memberikan hak serupa.

Pemohon berpendapat bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum serta asas negara hukum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga membandingkan ketentuan ini dengan Pasal 25 ayat (3a) dan ayat (7) serta Pasal 27 ayat (5) UU 28/2007 yang memberikan hak penundaan pembayaran pajak bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan atau banding.

Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonannya secara keseluruhan dan menyatakan frasa “…mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;” dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU 28/2007 bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai bahwa wajib pajak berhak atas penundaan pembayaran pajak hingga satu bulan setelah keputusan pembatalan diterbitkan.

Setelah menelaah permohonan, MK berpendapat bahwa tidak terdapat kejelasan dalam alasan permohonan (posita) dan petitum yang diajukan Pemohon. Mahkamah menilai bahwa inkonsistensi dalam permohonan ini menyebabkan ketidakpastian dalam substansi permohonan.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut, meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon, namun karena permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 PMK 2/2021, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan lebih lanjut,” tegas Guntur.(*)

Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi