Advokat Perbaiki Permohonan Uji Imunitas Jaksa

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sidang berlangsung di Ruang Sidang MK pada Selasa (18/3/2025) dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025.

Para pemohon dalam perkara ini adalah advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra. Mereka mengujikan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Dalam sidang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, didampingi oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah, kuasa Pemohon Ibnu Syamsu Hidayat menyatakan telah memperbaiki permohonan sesuai dengan saran Majelis Hakim Konstitusi. “Kami sudah menambahkan sesuai dengan saran Majelis. Pertama terkait dengan kewenangan MK telah kami urutkan dari Undang-Undang Dasar, dari UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK, UU Pembentukan Perundang-undangan dan PMK 2 Tahun 2021,” jelasnya.

Selain itu, Pemohon juga telah menambahkan kedudukan hukum (legal standing). Menurut Ibnu, Pemohon memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yaitu hak untuk mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, berhak mendapatkan pengakuan jaminan perlindungan hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Pada pokoknya, para Pemohon berpotensi kehilangan kesempatan untuk melakukan check and balances terhadap institusi Kejaksaan ketika menemukan penyimpangan yang dilakukan oleh jaksa.


Baca juga:

Hak Imunitas Jaksa Tanpa Batasan Jelas


Sebagai tambahan informasi, permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh advokat Agus Salim dan Agung Arafat Saputra. Mereka mengujikan Pasal 8 Ayat (5) UU Kejaksaan yang menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Dalam persidangan perdana yang digelar di MK pada Rabu (5/3/2025), kuasa hukum pemohon, Ibnu Syamsu Hidayat menyampaikan ketentuan pasal tersebut memberikan imunitas absolut kepada jaksa, sehingga berpotensi menghambat pengawasan dan meningkatkan risiko penyalahgunaan wewenang.

“Pasal ini menimbulkan imunitas yang absolut bagi jaksa, sehingga kontrol atau pengawasan terhadap kerja-kerja jaksa sulit dilakukan. Hal ini berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang, praktik ‘super power’, hingga tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, harus ada batasan yang jelas atas hak imunitas yang melekat pada aparat penegak hukum,” ujar Ibnu di hadapan majelis hakim.

Pemohon juga membandingkan hak imunitas jaksa dengan imunitas advokat yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk membela klien di pengadilan.

Menurut Pemohon, konsep hak imunitas jaksa juga harus memiliki batasan serupa untuk menjaga prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law). “Frasa ini sangatlah karet dan tidak berkepastian hukum. Mudah saja dengan adanya Pasal tersebut, suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh jaksa, kemudian didalilkan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,” tegasnya.

Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK untuk mengabulkan permohonan. Para Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945.

 

Baca selengkapnya: Perbaikan Permohonan Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025


Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi.

Humas: Tiara Agustina.


 

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi