Uji UU Kepolisian, MK Diminta Perintahkan Presiden Berhentikan Kapolri

JAKARTA, HUMAS MKRI – Tiga konsultan hukum mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon dalam petitumnya memohon kepada Mahkamah untuk memerintahkan Presiden Prabowo Subianto untuk mengusulkan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo.

“Empat, memerintahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mengusulkan pemberhentian Kapolri Listyo Sigit Prabowo, dan selanjutnya mengusulkan calon Kapolri yang baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat,” ujar Devita Analisandra selaku Pemohon bersama dua Pemohon lainnya, yaitu Syukur Destieli Gulo dan Christian Adrianus Sihite dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 19/PUU-XXIII/2025 pada Rabu (19/3/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Menurut para Pemohon, Kepolisian yang dipimpin Kapolri Listyo Sigit Prabowo tidak mencerminkan tugas dan fungsi Polri sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan beragam peristiwa yang justru sangat melukai rasa keadilan masyarakat termasuk di dalamnya para Pemohon.

Misalnya, kata para Pemohon, terdapat dugaan intimidasi oleh empat anggota kepolisian dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah terhadap Band Sukatani yang menyanyikan lagu satire ‘Bayar’. Selain itu, adanya kasus anggota Polres Batu Bara Aipda S ditangkap atas kepemilikan narkoba dengan barang bukti sabu 2,06 gram.

Sementara itu, Pasal 11 ayat (2) UU Kepolisian berbunyi, “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya.” Kemudian Penjelasan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan, “Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terhadap usul pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat. Usul pemberhentian Kapolri disampaikan oleh Presiden dengan disertai alasan yang sah, antara lain masa jabatan Kapolri yang bersangkutan telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya.”

Para Pemohon mengatakan frasa ‘disertai dengan alasannya’ dalam norma tersebut tidak diatur lebih lanjut atau setidak-tidaknya tidak dirumuskan secara jelas dalam UU Kepolisian. Menurut para Pemohon, pasal dimaksud tidak saja dihadapkan pada persoalan norma melainkan telah menimbulkan masalah riil, dalam situasi konkret Kapolri yang saat ini dijabat Listyo Sigit Prabowo tidak sah karena belum diangkat kembali oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU 2/2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif presiden, sekalipun dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri tersebut harus dengan persetujuan DPR sebagai mekanisme terciptanya check and balances.

Presiden memiliki hak prerogatif mengangkat jabatan-jabatan lain yang sangat strategis yang memiliki implikasi besar terhadap pencapaian tujuan negara termasuk pengangkatan Kapolri. Oleh karena pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden bersangkutan, maka semestinya setiap Presiden diberikan hak prerogatif yang sama sesuai dengan masa jabatan masing-masing Presiden. Maka, dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang mengangkat Kapolri bersangkutan, maka semestinya masa jabatan Kapolri bersangkutan harus berakhir.

Selain petitum di atas, para Pemohon juga memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 11 ayat (2) dan Penjelasannya UU Kepolisian bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Pasal 11 ayat (2) menjadi “Usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat disertai dengan alasan yang sah, antara lain: a. berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet; b. diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat; c. permintaan sendiri; d. memasuki usia pensiun; e. berhalangan tetap; f. dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Tidak Adili Kasus Konkret

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Arsul Sani. Guntur mengatakan petitum para Pemohon yang meminta Mahkamah untuk memerintahkan pihak lain tidak lazim dan termasuk kasus konkret, sedangkan MK tidak berwenang mengadili kasus konkret.

”Ini petitum yang tidak lazim karena ini sudah menyangkut perkara konkret. Di sini ini Mahkamah kaitannya dengan pengujian norma,” kata Guntur.

Para hakim konstitusi juga menyoroti belum adanya uraian penjelasan kedudukan hukum atau legal standing para Pemohon terkait berlakunya pasal yang diuji. Para Pemohon juga belum mengelaborasi adanya pertentangan pasal yang diuji terhadap batu uji yang ada dalam UUD NRI Tahun 1945.

Sebelum menutup persidangan, Saldi Isra mengatakan para Pemohon memiliki waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Berkas perbaikan pemohonannya paling lambat harus diterima Mahkamah pada Selasa, 8 April 2025.(*)

Penulis: Mimi Kartika

Editor: Lulu Anjarsari P.

Humas: Andhini S.F.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi