Pengusaha Sawit Persoalkan Sanksi Bagi Pemilik Tanah di Kawasan Hutan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Dua badan privat yaitu PT Tara Bintang Nusa (Pemohon I) dan Koperasi Produsen Unit Desa Makmur Jaya Labusel (Pemohon II), serta perseorangan Memet S Siregar (Pemohon III) mengajukan permohonan uji materi Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 angka 20 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Isu dalam Perkara Nomor 147/PUU-XXII/2024 ini adalah perlindungan terhadap hak atas tanah yang merupakan hak-hak yang dihormati dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

“Apabila pasal a quo yang diuji tidak dimaknai “dikecualikan terhadap pemilik hak atas tanah” maka secara jelas dan terang melanggar tiga hak-hak konstitusional para Pemohon,” ujar kuasa hukum para Pemohon Hotman Sitorus dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (23/10/2024) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.

Ketentuan Pasal 110A ayat (1) UU 18/2013 telah menimbulkan implikasi hukum kepada pemilik hak atas tanah untuk menyelesaikan persyaratan dan membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) maupun Dana Reboisasi (DR). Bahkan untuk pemilik hak atas tanah yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan/atau kawasan konservasi akibat hukumnya tidak hanya berkewajiban membayar PSDH dan DR, melainkan juga berkewajiban menyerahkan tanahnya kepada negara apabila telah melewati 15 tahun dari tahun tanam.

Ketentuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 mempunyai akibat hukum yang lebih berat terhadap pemilik hak atas tanah yaitu kewajiban melunasi denda administratif dan status lahan tetap menjadi kawasan hutan. Selain itu, pemilik hak atas tanah yang berada di kawasan hutan produksi mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama 1 daur maksimal 25 tahun atau sesuai jangka waktu perizinan. Setelah jangka waktu berakhir, maka berkewajiban menyerahkan tanah tersebut kepada negara. Sedangkan, pemilik hak atas tanah yang berada di kawasan hutan lindung dan/atau kawasan hutan konservasi mendapatkan perintah penyerahan tanah kepada negara.

Pemohon I merupakan badan hukum privat yang bergerak di bidang usaha perkebunan kelapa sawit sejak 2003. PT Tara Bintang Usaha mendapatkan hak guna usaha pelepasan kawasan hutan yang terletak di Kelompok Hutan S. Leipan Kabupaten Daerah Tingkat II Langkat, Sumatera Utara untuk usaha budidaya perkebunan kelapa sawit.

Pemohon I mengaku mengalami kerugian akibat pemberlakuan Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 karena areal Pemohon dengan luasan kurang lebih 41,6 hektar dimasukkan dalam Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tertanggal 31 Oktober 2023 yang mewajibkan Pemohon untuk menyelesaikan pemenuhan persyaratan dengan skema Pasal 110A/Pasal 110B UU Cipta Kerja. Kerugian Pemohon berupa kewajiban pembayaran dengan administratif kehutanan.

Sementara Pemohon II memiliki anggota sebanyak 770 orang yang masing-masing memiliki hak atas tanah dalam bentuk hak milik sejak 1990-an. Pemberlakuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 dinilai sangat merugikan anggota-anggota Pemohon II, khususnya bagi anggota yang memiliki perkebunan kelapa sawit lebih dari 5 hektar yang memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) dan dimasukkan dalam status kawasan hutan karena berpotensi dikenakan administratif dan menyerahkan tanah SHM kepada negara.

Sedangkan Pemohon II pernah menjadi terpidana dalam perkara tindak pidana korupsi dengan dakwaan mengagunkan perkebunan kelapa sawit yang sudah memiliki SHM yang diklaim sebagai kawasan hutan di Bank Syariah Mandiri pada 2009. Dengan adanya ketentuan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013, Pemohon III dianggap bertanggung jawab dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang telah ber-SHM di kawasan hutan sehingga dikenakan denda administratif kehutanan yang mencapai Rp 35 miliar. Selain membayar denda, Pemohon III juga kehilangan hak atas tanah untuk diserahkan kepada negara.

Dalam petitumnya, Para Pemohon meminta Mahkamah agar menyatakan Pasal 110A ayat (1) dan Pasal 110B ayat (1) UU 18/2013 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan dimaksud dikecualikan terhadap pemilik hak atas tanah.

 

Nasihat Hakim

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah bersama Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Menurut Enny, para Pemohon belum menguraikan secara jelas mengenai adanya kerugian hak-hak konstitusional atas berlakunya pasal-pasal yang diuji.

“Setelah itu, baru tambahkan lagi uraian yang terkait benar enggak kerugiannya secara spesifik dia aktual, karena ini kasus konkret memang lebih dekat dengan aktual, tetapi kalau yang dari jalur perseorangan harus ditegaskan apakah aktual atau potensial, termasuk kemudian hubungan kausalitasnya antara anggapan kerugian tadi benar enggak karena ada kaitannya dengan berlakunya norma itu,” tutur Enny.

Kasus konkret yang dialami para Pemohon seharusnya hanya menjadi pintu masuk untuk mengajukan permohonan pengujian ini, sedangkan para Pemohon lebih banyak menguraikan kasus konkret dibandingkan kerugian konstitusional yang dialami para Pemohon, baik aktual atau potensial. Sebab, MK tidak mengadili kasus konkret melainkan menguji norma undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

“Ini kan kaitannya memang dengan pelestarian lingkungan sebetulnya di situ. Benar enggak sih ada persoalan di sini, jangan-jangan persoalannya implementasi norma lagi,” kata Enny.

 

Penulis: Mimi Kartika.

Editor: N. Rosi.

Humas: Fauzan F.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi