MK Gelar FGD Urgensi Pengaduan Konstitusional Bagi Warga Negara

JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Urgensi Constitutional Complaint Bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara di Indonesia”, Senin (16/11/2020). Ketua MK Anwar Usman dalam sambutan pembukaan kegiatan mengatakan amendemen UUD 1945 pada masa reformasi berkaitan dengan perubahan substansi jaminan konstitusional warga negara di Indonesia. Pada perkembangannya, hal ini kemudian mendapat perhatian dalam mekanisme penegakannya melalui lembaga MK.

Selanjutnya Anwar menanggapi adanya wacana jaminan konstitusional melalui pengaduan konstitusional (constitutional complaint). Secara ideal, sambung Anwar, kewenangan ini dapat ditempuh dengan tiga cara, yakni melalui perubahan UUD 1945, perubahan UU MK, dan Putusan MK.

“Ketiga cara ini memiliki tantangan yang berbeda. Jika menempuh jalur perubahan UUD 1945, maka dibutuhkan konsensus yang kompleks. Jika melalui perubahan UU MK hal ini dirasa lebih realistis karena hanya akan mengubah UU MK dengan penambahan kewenangan yang dapat dinilai wajar, baik secara teoretik maupun praktik. Jika melalui Putusan MK, meski ini bisa ditempuh namun  pengaturannya lebih bersifat kasuistik,” sebut Anwar yang membuka kegiatan dengan didampingi Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah.

Untuk itu melalui kegiatan FGD ini, Anwar berharap pembahasan dari para ahli dalam berbagai perspektif akan semakin memperkaya dan memberikan berbagai masukan bagi perkembangan perjuangan hak konstitusional warga negara. “Dengan mengucap Bismillâhirrahmânirrahîm, kegiatan FGD dengan tema Urgensi Constitutional Complaint Bagi Pemajuan dan Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara di Indonesia secara resmi saya nyatakan dibuka,” ucap Anwar.

 

Empat Perspektif FGD

Sementara itu, Sekretaris Jenderal MK M. Guntur Hamzah dalam laporan kegiatan menyebutkan kegiatan Focus Group Discussion ini akan digelar selama dua hari (Senin-Selasa, 16-17/11/2020).  Dalam diskusi ini bahasan terkait Pengaduan Konstitusional akan diperbincangkan dalam empat sesi dengan empat perspektif yakni filosofis, perbandingan dengan negara lain, regulasi, dan kelembagaan.

Pada FGD kali ini, sambung Guntur, diskusi tak sekadar pemaparan materi oleh para narasumber secara bergantian, tetapi juga disediakan forum bagi penanggap yang berasal dari akademisi dan praktisi dari komunitas dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Kenapa PerluPengaduan Konstitusional

Pada Sesi I FGD ini, Ketua Mahkamah Agung (MA) Periode 2001-2008 Bagir Manan hadir sebagai pemateri pertama. Dalam bahasannya, Bagir mengungkapkan kenapa perlu diberikannya tugas dan kewenangan tambahan berupa pengaduan konstitusional. Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara saksama apabila kewenangan ini diserahkan kepada MK.

Pertama, jika ingin menjadikan pengaduan konstitusional sebagai bagian dari kehidupan bernegara, maka demokrasi yang tercipta di Indonesia harus sehat dan diterima. Untuk mencapai hal ini, sistem demokrasi di Indonesia harus diperkuat.

Kedua, memperkuat negara hukum yang menekankan prinsip legitimasi kekuasaan. Ketiga, jika ingin menegakkan negara hukum, maka harus pula menjadikan tatanan kehidupan berlandaskan pemenuhan hak asasi manusia, yang bukan hanya sebagai aturan.

“Jika MK benar-benar melaksanakan kewenangan pengaduan konstitusional ini, berarti melakukan perlindungan HAM secara utuh,” sampai Bagir Manan dalam diskusi yang dipandu dan dimoderatori oleh Peneliti MK Irfan Nur Rachman.

 

Kesiapan Lembaga

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani sebagai pemateri berikutnya mengungkapkan pembahasan mengenai pengaduan konstitusional dalam konteks perubahan undang-undang adalah perihal yang masuk pada bagian dari rekomendasi dari penataan kekuasaan kehakiman dan sistem hukum perundang-undangan di Indonesia. Pada saat dilakukannya pembahasan internal di DPR, salah satu pilihan yang direkomendasikan adalah pengaturan kewenangan pengaduan konstitusional bukan dengan amendemen UUD 1945, melainkan melalui perubahan UU MK.

Sehubungan dengan hal ini, pertanyaan yang bermunculan dari ruang Komisi III DPR RI adalah kesiapan lembaga MK dengan sembilan hakim konstitusi. Arsul mencermati  ada beberapa kewenangan MK seperti adanya beban penyelesaian perkara perselisihan hasil Pilkada yang cukup berat.

“Akankah secara kinerja Hakim MK siap menegakkan prinsip konstitusi. Mengingat mitralintas hakim MK yang benar-benar harus tetap terjaga independensinya,” sampai Arsul.

 

Kelalaian Lembaga

Berikutnya, Hakim Kostitusi Periode 2003–2008 dan 2015–2020 I Dewa Gede Palguna dalam materi berjudul “Segi-Segi Teoretik Pengaduan Konstitusional” mengawali bahasan tentang makna dari pengaduan konstitusional. Palguna mengatakan bahwa makna inti pengaduan konstitusional adalah pengaduan yang diajukan perorangan warga negara dengan alasan terlanggarnya hak konstitusionalnya akibat kelalaian lembaga atau pejabat negara dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh.

Sejatinya, sambung Palguna, dasar pemikiran ini merupakan bagian dari upaya mewujudkan gagasan negara demokrasi konstitusi di negara yang menganut prinsip supremasi konstitusi yang ditegakkan melalui supremasi pengadilan. Secara konstitusional, Palguna menyatakan bahwa Indonesia dikonsepsikan sebagai constitutional democratic state yang secara jelas dan tegas tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Atas dasar ini, sangat mungkin dilaksanakannya tugas dan kewenangan pengaduan konstitusional ini tanpa adanya amendemen UUD 1945. Dengan syarat dilakukan secara terbatas melalui judicial interpretation  yang kemudian bergantung pada keberanian MK dan melalui legislative interpretation dengan cara memberi penafsiran otentik terhadap pengertian pengujian undang-undang sehingga mencakup pengujian konstitusional perbuatan.

“Lalu apakah ini merupakan kebutuhan yang kemudian bergantung pada problem kapasitas, yakni ahli yang menguasai serta integritas atau kenegarawanan para hakim yang akan melaksanakan tugas dan kewenangan pengaduan konstitusional ini nantinya,” kata Paguna.

 

Sisi Ego Manusia

Pemateri selanjutnya Anggota Forum Konstitusi (FK) Gregorius Seto Harianto mengatakan jika berkaitan dengan konsep pengaduan konstitusional, justru mendorong sisi ego manusia sehingga melupakan ada pengorbanan yang lebih besar yang harus didahulukan. Menurutnya, tidak harus segalanya digugat karena konsep adil dan merata adalah memperlakukan yang berbeda sebanding dengan perbedaannya yang diwujudkan dalam pelaksanaan konsep negara hukum.

“Artinya, apapun yang dilakukan haruslah diwujudkan atas dasar peraturan-peraturan yang sah secara hukum yang berlaku. Dan makna kebebasan bagi bangsa Indonesia bukan sekadar bebas dari penjajahan, tetapi bebas untuk mewujudkan cita-cita dengan pelaksanaan prinsip Pancasila yang bersifat holistik dengan konstitusi,” jelas Gregorius Seto.

Sebagai informasi dalam kegiatan yang diselenggarakan secara virtual ini, hadir pemateri-pemateri ahli di bidang hukum dan pemerintahan, di antaranya Ketua MA Periode 2001-2008 Bagir Manan, Ketua MK Periode 2013-2016 Hamdan Zoelva, Ketua MK Periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie, Hakim Konstitusi Periode 2003-2008 dan 2015-2020 I Dewa Gede Palguna, Guru Besar Hukum Tata Negara UII Ni’matul Huda, Kepala BPHN Benny Riyanto, dan Wakil Ketua Komnas HAM Munafrizal Manan.

 

Penulis: Sri Pujianti.

Editor: Nur R.

Source: Laman Mahkamah Konstitusi