Anggota PPP Uji Ambang Batas Parlemen Tidak Hadiri Sidang Pendahuluan

JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketua Panel Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebut Pemohon Perkara Nomor 57/PUU-XXII/2024 tidak serius karena tidak menghadiri sidang pendahuluan pengujian undang-undang pada Selasa (9/7/2024). Pemohon adalah anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bernama Pasai yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengenai ambang batas perolehan suara parlemen atau parliamentary threshold.

“Kalau dari laporan Kepaniteraan sudah dipanggil beberapa kali dihubungi dan terakhir kita sudah cek juga tidak ada, artinya ini permohonan tidak serius, Pemohon tidak serius, dan nanti akan dibahas di Rapat Permusyawaratan Hakim,” ucap Saldi didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Jakarta. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu pun lantas menutup persidangan dengan persetujuan kedua hakim konstitusi lainnya.

Berdasarkan berkas permohonan yang diakses melalui laman MKRI, Pemohon menganggap ketentuan ambang batas perolehan suara parlemen dalam UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Ketentuan dimaksud diatur Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi, “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.”

Pemohon menyebut telah mengalami kerugian konstitusional akibat adanya aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen tersebut. Ketentuan yang demikian telah merugikan Pemohon karena Pemohon menganggap suara Pemohon menjadi sia-sia karena perolehan suara sah PPP secara nasional dalam pemilu anggota DPR RI 2024 sejumlah 5.878.777 suara dari 84 daerah pemilihan (dapil) atau setara dengan 3,87 persen dan karenanya keberlakuan Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 telah menafikan hak Pemohon yang telah memberikan suara dalam pemilu anggota DPR RI 2024.

Pemohon memaparkan, ketentuan Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena mengabaikan hak pemberian suara, sehingga suara Pemohon menjadi hangus atau tidak memiliki arti dalam pemilu. Suara yang hilang dan terbuang secara percuma karena kursi tersebut tidak dapat diberikan kepada partai lain.

Selain itu, ketentuan Pasal 427D Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengenai ketentuan penetapan pimpinan DPR juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Sebab, kata Pemohon, ketentuan ini mengabaikan hak anggota DPR yang juga dipilih Pemohon untuk dipilih sebagai pimpinan DPR.

Pemohon menjelaskan, penetapan pimpinan DPR selama ini dilaksanakan secara diskriminatif karena dialokasikan kepada partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak tanpa memperkenalkan terlebih dahulu figur pribadi calon pimpinan DPR RI dalam sebuah pemilihan internal di DPR. Menurut Pemohon, seharusnya pimpinan DPR dipilih melalui proses pemilihan di DPR berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan disusun berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.

Pemohon mengatakan, berkaca pada pelaksanaan dan hasil pemilu sebelumnya, praktik jutaan suara pemilih yang terbuang sia-sia tidak dapat dibenarkan menurut hukum, prinsip kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Karena itu, praktik tersebut sangan penting harus dihentikan saat ini juga dimulai dari Pemilu 2024 ini sebagaimana adagium justitae non est neganda, non differenda, keadilan tidak dapat disangkal atau ditunda.

Pemohon juga mendalilkan adanya disproporsionalitas hasil pemilu akibat tidak proposionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional. Efek yang ditimbulkan dari disproporsionalitas ini adalah jutaan suara pemilih tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR.

Dalam petitumnya, Pemohon meminta Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017 dan Pasal 427D UU 2/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak Pemilu DPR 2024.

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi