Saksi Ungkap Syarat Mendapatkan STR Nakes

JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Pasal 212 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (19/9/2024). Sidang gabungan dua perkara yaitu Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024 ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh Hakim Konstitusi.

Agenda sidang yaitu keterangan dua saksi Presiden (Pemerintah). Fitri Hudayani selaku Kepala Instalasi Pelayanan Gizi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam persidangan menjelaskan pengaturan Sumber Daya Manusia (SDM). Fitri melakukan pengaturan pemetaan tenaga sesuai dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki untuk menjalankan perannya pada area kerja. Peran Tenaga Gizi, ada perbedaan kualifikasi tenaga di masing-masing peran yaitu untuk Tenaga Gizi yang melakukan tugas di Asuhan Gizi Rawat Inap dan Rawat Jalan membutuhkan Surat Kewenangan Klinis (SKK) yang diterbitkan oleh RSCM dan ditandatangani Direktur Utama. Syarat mendapatkan SKK adalah adanya Surat Tanda Registrasi (STR) aktif dan Surat Izin Praktek (SIP) yang berlaku. Tenaga Gizi yang yang belum mendapatkan SKK ditempatkan pada perannya di area perencanaan, produksi dan distribusi makanan.

“Instalasi Pelayanan Gizi di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo memiliki 66 tenaga gizi dengan kualifikasi antara lain 5 Diploma 3 Gizi, 32 S1 Gizi, 2 S2 Gizi dan 17 orang Profesi Dietisien dan 6 Profesi Dietisien + S2 Gizi. Dari komposisi SDM Tenaga Gizi yang ada, sebanyak 34 di antaranya adalah dengan pendidikan kategori akademik yang pada saat ini mengacu kepada UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No. 28 tentang Pelaksanaan UU no. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, maka tenaga akademik tersebut harus melanjutkan ke Pendidikan Profesi Dietisien agar dalam menjalankan tugasnya di area Pelayanan Kesehatan yang bersifat pemberi layanan secara langsung kepada pasien (hands-on),” ujar Fitri di hadapan persidangan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.

 

Antisipasi Dampak UU Kesehatan

Fitri lebih lanjut mengatakan, dalam mengantisipasi dampak dari terbitnya UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan PP No 28 tentang Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Fitri selaku kepala Instalasi Pelayanan Gizi melakukan upaya sesuai dengan aturan di atas, dan juga surat edaran Dirjen Nakes Nomor: HK.02.02/F/2123/2024 tentang Penyesuaian Kualifikasi Pendidikan bagi Tenaga Kesehatan Pendidikan Akademik Pasca Terbitnya UU 17 tentang Kesehatan yaitu mengatur tenaga akademik untuk mengikuti pendidikan Profesi Dietisien dengan dua skenario pendidikan Reguler dan Rekognisi Pendidikan Lampau (RPL). Adapun pengaturan dilakukan berdasarkan masa berlaku STR, status kepegawaian, dan masa kerja.

Menurutnya, program RPL sangat memungkinkan untuk dipilih karena dilakukan tanpa meninggalkan pekerjaannya di mana pembelajaran dilakukan secara daring dan berbasis kasus di tempat tugas masing-masing. Dalam hal pembiayaan, pendidikan RPL hanya membayar 1 semester sisa pendidikan yang harus dijalani. Pada akhir pendidikan RPL, peserta akan mengikuti ujian kompetensi dan mendapatkan sertifikat profesi yang diperlukan untuk mengurus STR. Saat ini 10 tenaga gizi akademik sedang melaksanakan pendidikan RPL.

“Dikarenakan syarat RPL adalah untuk Tenaga Gizi dengan minimal pengalaman kerja 5 tahun, maka untuk yang belum memenuhi syarat diikutkan pendidikan regular dengan pendanaan melalui Tugas Belajar Kemenkes,” sebut Fitri.

 

Tidak Membutuhkan STR

Saksi berikutnya yang dihadirkan Pemerintah adalah Lia Asti Sugiyanti. Lia menyebut dirinya lulusan profesi gizi kesehatan pada 2010 dan mulai bekerja di tahun 2011-2012 sebagai Kepala Instalasi Gizi di salah satu Rumah Sakit di kota Makassar.  

Dikatakan Lia, pada saat ia bekerja di tempat tersebut ia menjalankan asuhan gizi dan konsultasi gizi ke pasien-pasien di Kota Makassar. Pada saat bekerja di sana ia membutuhkan STR guna menunjang proses setiap harinya dalam menjalankan pekerjaannya.

Pada 2015-2022 ia kembali bekerja sebagai unit manajer di salah satu perusahaan catering di Jakarta dan ditempatkan di salah satu Rumah Sakit di Jakarta. Pada saat mengemban tugas ini, ia tidak membutuhkan STR dikarenakan setiap harinya pekerjaannya berhubungan dengan pasien secara langsung. “Saya bertugas mengelola segala macam operasional yang dibutuhkan seperti memanage unit, menyiapkan tenaga dapur dan gizi, mengelola bahan makanan yang akan digunakan, membantu RS dalam hal pelayanan makanan ke pasien. Pada tahun 2022 sampai sekarang saya bekerja sebagai Head of Operations dan Dietitian di salah satu perusahan katering di Jakarta dan saya mengkoordinir seluruh pelayanan operasional dan memanage ahli gizi di seluruh Indonesia yang dimana saya tidak membutuhkan STR dalam menjalankan pekerjaan ini,” tegasnya.

Merespons keterangan dari dua saksi tersebut, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengajukan pertanyaan yakni apakah kebijakan ini khusus berlaku bagi mereka yang sudah bekerja di Kementerian Kesehatan, atau apakah pembiayaan ini juga diberikan kepada lulusan di bidang kesehatan yang ingin memperoleh STR? Apakah ada individu yang terhalang mendapatkan STR karena belum mengikuti pendidikan profesi terkait? Selain itu, Guntur juga menanyakan pada saat selesai apakah ada ketentuan untuk mengikuti Pendidikan Profesi tersebut atau pada saat selesai memang tidak ada ketentuan sehingga langsung ukom kemudian setelah ukom mendapatkan STR.

Menjawab pertanyaan tersebut, Fitri mengatakan tenaga akademik merupakan lulusan S1 yang mana belum melanjutkan profesi. Sedangkan untuk yang belum mempunyai masa kerja kurang dari 5 tahun dan bekerja di area pelayanan,  ia menyebut diikutkan ke dalam pendidikan regular. Hal itu dikarenakan belum memenuhi kualifikasi Pendidikan RPL.

“Lulusan Dietisen telah ada sebelum UU 17 terbit yang mana institusi yang pertama ada adalah UGM dan diikuti oleh institusi lain. Lulusannya telah ada sejak belum terbitnya UU 17 tersebut,” jawab Fitri.

Selain itu, Fitri juga mengatakan berdasarkan adanya rentang waktu peralihan lima tahun ke depan, ia melakukan pemetaan dengan mempertimbangkan masa berlaku STR yang mana didahulukan RPL yang STRnya akan segera habis kemudian yang paling jauh untuk masa STRnya itu berlaku. 


Baca juga:

Menguji Syarat Perolehan Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan

Pemohon Ungkap Kerugian Konstitusional Akibat Berlakunya Ketentuan Syarat Perolehan STR Tenaga Kesehatan

Pemerintah dan DPR Minta Penundaan Sidang Soal Syarat Perolehan STR Tenaga Kesehatan

Pemerintah: Sertifikat Profesi dalam UU Kesehatan Sejalan dengan UU Dikti

Lulusan Sarjana Gizi Sulit Cari Kerja karena Tidak Dapat Mengurus STR

Pandangan DPR dan Ahli Ihwal Uji Kompetensi Tenaga Kesehatan


Sebelumnya, MK menggelar sidang gabungan dua perkara, yaitu Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 dan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024. Permohonan Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Shafa Syahrani, Satria Prima Arsawinata, dan Bunga Nanda Puspita. Sedangkan permohonan Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Iwan Hari Rusawan.

Kurnia Nurfitrah selaku kuasa Pemohon Perkara Nomor 49/PUU-XXII/2024 menyampaikan, para Pemohon mengalami kerugian karena perubahan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan menghalangi para mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) secara langsung setelah lulus dari program sarjana. Padahal, selama masa pendidikan program sarjana, Mahasiswa telah memilih konsentrasi di dalam program studi yang sesuai minat dan keahliannya dengan tujuan mendapatkan pekerjaan yang sesuai.

Para Pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan tersebut secara tiba-tiba tanpa ketentuan peralihan. Oleh karena itu, dalam petitum, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk mengecualikan ketentuan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan bagi mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa program sarjana tenaga kesehatan sebelum berlakunya pasal a quo (8 Agustus 2023).

 

Pengakuan Kompetensi Ahli Khitan

Pemohon Perkara Nomor 50/PUU-XXII/2024, Iwan Hari Rusawan, mendalilkan Pasal 212 ayat (2) UU Kesehatan hanya mengakomodir pendidikan profesi dan pendidikan tinggi. Hal ini mengakibatkan Pemohon yang berprofesi sebagai pengkhitan, tidak memiliki kesempatan membuktikan dan mencatatkan kemampuan dalam uji kompetensi sehingga tidak dapat mengajukan STR, maka Pemohon tidak diakui sebagai tenaga kesehatan. Akibat tidak dapat mempunyai STR, Pemohon tidak dapat mengajukan izin praktik yang dibutuhkan untuk menjalankan kepercayaan berbasis agama demi mencari nafkah, misalnya membuka balai sunat.

Dalam petitum, Iwan memohon kepada mahkamah agar ketentuan Pasal 210 ayat (1) dan ayat (2) UU Kesehatan mengecualikan tenaga medis dan tenaga kesehatan berbasis kebudayaan, kearifan lokal, dan agama yang telah memperoleh pengakuan dari masyarakat Indonesia sejak sebelum adanya perguruan tinggi di Indonesia.

 

Penulis: Utami Argawati.

Editor: N. Rosi.

Humas: Fauzan F.

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi