Pemohon: Menjadi Advokat di Malaysia, Jepang, Belanda Tidak Memandang Usia Minimal

JAKARTA, HUMAS MKRI – Para Pemohon Perkara Nomor 108/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonan mengenai pengujian Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Para Pemohon yang terdiri dari enam advokat/pengacara dan tiga mahasiswa ini menambahkan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma pasal a quo mengenai batas usia minimal untuk diangkat menjadi advokat.

“Kami juga menambahkan di dalam kerugian konstitusionalnya lebih mengerucut terutama unutk batas usia minimal bahwa kerugian dari Pemohon itu alasannya adalah selain karena kecerdasan secara akademik yang menyebabkan yang bisa membuat Pemohon yang berusia muda lebi cepat memperoleh kelulusan kelulusan namun juga keterbatasan secara ekonomi,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Jimmy Himawan dalam sidang perbaikan permohonan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Selasa (10/9/2024).

Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 selengkapnya berbunyi, “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun.” Menurut para Pemohon, frasa berusia sekurang-kurangnya 25 tahun telah menghambat lulusan baru berijazah sarjana hukum untuk menjadi advokat maupun mewujudkan cita-cita berprofesi advokat sehingga mengurangi hak warga negara.

Mereka mengatakan, hal tersebut karena pasal a quo tidak lagi memadai atau tidak relevan sehingga menghambat dan menimbulkan kerugian konstitusional yang nyata dan tidak terbantahkan. Para Pemohon juga memfokuskan bahwa pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Para Pemohon merasa mahasiswa hukum di Indonesia yang lulus cepat di umur 20 tahun, 21 tahun, dan 22 tahun akan terpaksa menganggur setelah menjadi sarjana karena untuk disumpah menjadi advokat harus berusia sekurang-kurangnya 25 tahun. Padahal, jika mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijke wetboek) menyebut batas usia dewasa seseorang ada di batasan umur 21 tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebut 18 tahun, atau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyebut 19 tahun.

Sementara, selain pembatasan usia untuk menjadi advokat yang terlalu tinggi, Pasal 3 ayat (1) UU Advokat justru tidak mengatur batas usia atas atau usia maksimal seseorang dapat menjadi advokat. Menurut para Pemohon, hal itu dapat menimbulkan kekosongan hukum yang menjadi celah bagi praktik-praktik yang menciderai kehormatan sebagaimana sumpah advokat yang tertulus dalam Pasal 4 ayat (2) UU Advokat.

Para Pemohon juga menambahkan uraian perbandingan sistem hukum pengangkatan advokat Indonesia dengan Malaysia, Jepang, dan Belanda. Para Pemohon menyebutkan, batas usia bagi seseorang untuk diangkat menjadi advokat di Malaysia adalah 18 tahun selain daripada pemenuhan persyaratan lainnya yang diatur dalam Akta Profesion; pengangkatan advokat di Jepang berdasarkan syarat akademik, pengalaman, dan karya hukum; serta pengangkatan advokat di Belanja berdasarkan syarat akademik dan syarat masa magang, bukan berdasarkan batas minimal umur seseorang.

Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU 18/2003 bertentangan dengan Pasal 28D UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Para Pemohon juga memohon agar pasal a quo dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (d) berusia sekurang-kurangnya 23 (dua puluh tiga) tahun dan tidak lebih 45 (empat puluh lima) tahun.”

Baca juga: Syarat Usia Minimal Diangkat Jadi Advokat Diuji ke MK

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Sebelum menutup persidangan, Saldi mengatakan, permohonan ini akan disampaikan ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dihadiri sembilan hakim konstitusi atau sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. RPH akan memutuskan apakah perkara ini akan diputus setelah pleno atau sidang pemeriksaan lanjutan atau langsung diputus tanpa pleno. Apapun hasilnya, Mahkamah akan segera menginformasikannya kepada para Pemohon.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi