Sengketa Tanah dengan TNI AL, Warga Tarakan Uji UU ke MK

JAKARTA, HUMAS MKRI – Harmiati, perwakilan Masyarakat Tarakan dalam urusan percepatan penyelesaian tanah hunian warga masyarakat Kampung Bugis Kelurahan Karang Anyar, Kecamatan Tarakan Barat Kota Tarakan Kalimantan Utara, mengajukan pengujian Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Menurut Pemohon Perkara Nomor 116/PUU-XXII/2024 ini, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945.

Pemohon menyampaikan kerugian konstitusional yang dialami bermula dari adanya konflik tanah antara Masyarakat Kampung Bugis Kelurahan Karang Anyar Kecamatan Tarakan Barat dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Hal ini terjadi ketika masyarakat memanfaatkan tanah garapan milik TNI AL selama bertahun-tahun dan sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), tetapi kemudian tanah garapannya diminta kembali oleh negara.

Pemohon sudah melakukan upaya mempertahankan kepemilikan tanah garapan tersebut kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Bulungan, tetapi usaha dari Pemohon tidak digubris. Karena itu, Pemohon mengajukan permohonan ini untuk menghapus beberapa pasal kemudian merevisi/mengubah bunyi pasal UU yang diuji materinya.

“Kami meminta kepada Mahkamah Konstitusi karena di sini ada ketimpangam dari Undang-Undang sehingga BPN ini tidak bisa melaksanakan perintah,” ujar Kuasa hukum Pemohon, Yasrizal dalam sidang pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Senin (9/9/2024).

Pemohon meminta dilakukan penghapusan Pasal 2 ayat (2) huruf c UU 5/1960 dan diganti bunyi pasalnya menjadi ditambahkan tanah. Karena dalam hukum bersifat menyelamatkan permanen antara bumi, tanah satu sama lainnya tidak bisa terpisahkan, agar petugas dari pada BPN tidak ada satupun pihak yang intervensi dan ini akan memunculkan nilai materi keduanya, agar jangan yang berharga isi bumi semata. Tanah tersebut pun bisa dimanfaatkan juga untuk mengatur/menentukan/mengambil sikap kebijakan secara hukum amanat UUD Republik Indonesia Tahun 1945, bersifat menyeluruh terhadap perbuatan orang-orang/lembaga instansi/badan.

Pemohon juga meminta dilakukan penghapusan Pasal 17 ayat (3) UU 5/1960 dan diganti bunyi pasalnya agar tidak lagi menjadi bahan perdebatan di masyarakat. Undang-Undang harus tidak boleh lagi membatasi pribumi memiliki tanah ini tapi bila melebihi luas maksimun dari Pasal 17 ayat (1), maka kelebihan itu wajib melalui badan hukum aktif bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sesuai Pasal 2 ayat (2) huruf c pasal baru sebagaimana keinginan Pemohon. Pemohon meminta untuk dilakukan penambahan ayat pada Pasal 46 UU 5/1960 untuk ayat (3) menjadi hak membuka tanah rawa.

Nasihat Hakim

Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah. Para hakim sepakat permohonan ini tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Bahkan, kata Guntur, Pemohon pun tidak mencantumkan pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji dalam permohonan ini.

“Bukan saja pasal Undang-Undang Pokok Agraria ini (UU yang diuji) tetapi juga dicantumkan Undang-Undang Dasar yang menjadi batu ujinya, artinya dasar pengujian, sehingga kita mau lihat apakah memang benar pemikiran Pak Yusrizal ini bertentangan atau tidak,” kata Guntur.(*)

Penulis: Mimi Kartika
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha Marsaulina

Source: Laman Mahkamah Konstitusi