Kehadiran Negara dalam Pemulihan Korban Kekerasan Seksual
JAKARTA, HUMAS MKRI – Tiga warga yang berstatus mahasiswa, Sherly Putri Yulia Santi, Nadhirotul Khumayroh, dan Diva Serina Keisha Putri mengajukan uji materiil Pasal 67 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana pemeriksaan Permohonan Nomor 250/PUU-XXIII/2025 ini dilaksanakan panel hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada Rabu (17/12/2025).
Pasal 67 Ayat (2) UU TPKS yang menyatakan, “Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban".
Menurut Para Pemohon ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Para Pemohon menilai frasa "sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban" dalam Pasal 67 ayat (2) UU TPKS membuka ruang hukum yang berpotensi luas bagi negara, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk melepaskan atau mengurangi tanggung jawabnya dalam memberikan pemulihan kepada korban kekerasan seksual. Dengan alasan antara lain keterbatasan anggaran daerah, kurangnya fasilitas pendukung, atau kondisi geografis yang sulit dijangkau. Hal ini, diperkuat oleh penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Aturan ini berfungsi sebagai wujud komitmen negara memberikan kompensasi kepada korban yang mengalami kerugian namun tidak dapat dipenuhi sepenuhnya oleh pelaku tindak pidana. Akan tetapi, keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut tidak boleh menjadi alasan bagi negara untuk hanya bergantung pada restitusi pelaku, melainkan negara harus secara aktif dan proaktif menjamin hak korban agar terpenuhi secara penuh dan tidak bergantung pada kondisi atau kesiapan pemerintah daerah.
“Bahwa akibat langsung dari penggunaan frasa "sesuai dengan kondisi dan kebutuhan korban" ini adalah terjadinya kerugian konstitusional bagi Para Pemohon, yaitu ketidakpastian dan ketidaktegasan negara dalam memenuhi hak korban secara menyeluruh. Frasa tersebut memungkinkan pejabat atau instansi terkait untuk membenarkan pengabaian pemenuhan hak korban dengan dalih kondisi keuangan daerah yang tidak memadai atau ketiadaan sarana dan prasarana, sehingga hak-hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan tidak terlaksana secara optimal dan adil,” sampai Nadhirotul kepada Hakim Sidang Panel secara daring.
Namun demikian, para Pemohon berpandangan bahwa norma tersebut tidak disertai dengan batasan, maupun mekanisme pertanggungjawaban dalam pelaksanaan hak-hak korban apabila terjadi tindakan yang merugikan pemenuhan hak tersebut. Ketiadaan batasan ini menimbulkan ruang tafsir yang terlalu luas, sehingga dalam praktiknya Pasal 67 Ayat (2) UU TPKS sering digunakan secara sepihak oleh negara atau instansi terkait untuk membenarkan pengabaian hak Korban tanpa proses yang transparan, tanpa prosedur yang jelas, bahkan tanpa pemulihan yang layak sebagaimana ditentukan dalam regulasi.
Untuk itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 67 ayat (2) UU TPKS yang berbunyi: "Pemenuhan Hak Korban merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Korban." bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: "Pemenuhan Hak Korban merupakan kewajiban mutlak negara yang pelaksanaannya diprioritaskan tanpa dapat dikesampingkan dengan alasan keterbatasan kondisi anggaran, sarana, atau prasarana."
Perlindungan Korban
Hakim Konstitusi Daniel dalam nasihatnya meminta para Pemohon untuk memastikan aturan teknis dari pengaturan hak/perlindungan pada korban. “Boleh juga sertakan asas, teori, perbandingannya dengan negara lain dalam pelaksaan perlindungan ini,” jelas Daniel.
Kemudian Hakim Konstitusi Guntur menyebutkan para Pemohon perlu memahami hal ini terkait dengan korban, sehingga yang bukan merupakan korban harus memperkuat legal standing dalam pengajuan norma ini. “Misalnya ada Pemohon yang bisa saja berpotensi mengalami kekerasan seksual saat pulang malam dari kelompok belajar dan sebagai perempuan terancam jika tidak ada jaminan terhadap korban. Jadi harus dijelaskan dan benar adanya serta karakteristik dari Pemohon yang berkaitan dengan pasal yang diuji,” terang Guntur.
Pada akhir persidangan, Ketua MK Suhartoyo menyebutkan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah yang telah diperbaiki tersebut dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 30 Desember 2025 pukul 12.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Selanjutnya Mahkamah akan menggelar sidang kedua dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan para Pemohon.
Jelajahi Jejak: Permohonan Nomor 250/PUU-XXIII/2025
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: N. Rosi.
Source: Laman Mahkamah Konstitusi
