MK Terima Kunjungan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang
Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (P4TIK) Mahkamah Konstitusi (MK), M. Guntur Hamzah menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang, Senin (3/3) siang di lantai 4 Gedung MK.
“Pasca amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, muncul ide untuk membentuk Mahkamah Konstitusi di Indonesia saat Pasal 24C UUD 1945 dirumuskan. Pasal ini mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi. Namun sebelum saya menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, saya akan menjelaskan sejarah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan kita,” ucap Guntur Hamzah saat membuka pembicaraan dengan para mahasiswa.
Dijelaskan Guntur, ketika reformasi 1998 bergulir di Indonesia, salah satu agenda reformasi adalah mengusung perlunya amandemen UUD 1945. Khususnya menyangkut pembatasan masa jabatan Presiden selama 5 tahun dan “dapat terpilih kembali”. Namun pengertian berapa lama dapat dipilih kembali tidak ada aturannya.
Guntur menjelaskan, tatkala dilakukan amandemen UUD 1945 banyak persoalan ketatanegaraan kita yang perlu diperbaiki. Salah satunya soal bagaimana menjaga keseimbangan antara pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif, karena tidak boleh ada satu lembaga kekuasaan yang sangat dominan.
“Oleh karena itu, filosofi yang dibangun dalam UUD 1945 adalah keseimbangan antara pemegang kekuasaan. Ketika ada satu lembaga kekuasaan yang terlalu dominan, maka kekuasaannya perlu dikurangi, dibatasi. Sebaliknya, ketika ada lembaga kekuasaan yang sangat lemah kekuasaannya, maka perlu diperkuat, diangkat, supaya ada keseimbangan,” urai Guntur.
Guntur melanjutkan, perlu ada keseimbangan baru dengan dibentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi. Lantas apa tujuannya? Supaya kewenangan DPR membuat undang-undang tidak disalahgunakan. “Tahun 1919 pakar hukum Hans Kelsen menggagas pemikiran bahwa agar parlemen tidak menyalahgunakan kewenangannya, maka produk parlemen itu perlu diuji oleh sebuah lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi. Karena itulah dibentuklah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia pada 1920 di Austria,” papar Guntur.
Pemikiran Hans Kelsen tentang Mahkamah Konstitusi tidak datang secara tiba-tiba. Namun berangkat dari sejarah yang terjadi Inggris dan Amerika Serikat. Tahun 1701 di Inggris sudah ada pemikiran bahwa ketika parlemen membuat produk perundang-undangan yang bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip commonwealth system yang berlaku di Inggris, maka produk parlemen itu dapat diuji oleh sebuah lembaga peradilan. Hanya saja, hal tersebut belum dipraktikkan, baru sebatas wacana atau pemikiran.
Namun praktik pengujian UU diterapkan di dunia, pertama kali di Amerika Serikat dengan adanya Kasus Marbury vs Madison (1801) terkait perseteruan antara Presiden John Adams dan Presiden Thomas Jefferson. Bahwa produk kongres yang dibuat oleh The House of Representative dengan Senat Amerika Serikat, kemudian dianulir oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.“Kasus itulah yang memperlihatkan bahwa hakim konstitusi tidak terbelenggu dengan asas hukum yang menyatakan hakim tidak boleh memutus lebih dari apa yang diminta. Selain itu, kasus itulah yang menginspirasi lahirnya Mahkamah Konstitusi melalui pemikiran Hans Kelsen untuk kemudian mendirikan lembaga Mahkamah Konstitusi,” ucapnya.
Sedangkan di Indonesia, ide pengujian undang-undang pertama kali dicetuskan oleh Moh. Yamin pada 1945, dengan istilah ‘melakukan banding UU’ di Balai Agung (Dewan Pertimbangan Agung). Tetapi usulan Yamin ditolak Soepomo, hingga bertahun-tahun kemudian akhirnya dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Seperti diketahui, kewenangan MKRI adalah menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, MKRI wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga:telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan atau tindak pidana lainnya. (Nano Tresna Arfana/mh)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi