Workshop PHPU Legislatif 2014 Bahas Perubahan Peraturan MK

 

Sesi pertama Workshop Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif 2014 bagi Pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (7/2) malam di Cisarua, mengangkat tema “Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD”.  Bertindak sebagai narasumber adalah Sekjen MK Janedjri M. Gaffar dan Panitera MK Kasianur Sidauruk, dengan moderator Kepala P4TIK MK M. Guntur Hamzah.

Mengawali sesi pertama, Janedjri menjelaskan ada beberapa Peraturan MK tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu yang mengalami sejumlah perubahan. “Meskipun kita semua sudah mengetahui perubahan itu, tetapi tentu kita harus benar-benar bisa memahami letak perubahannya dan konsekuensi ikutan terhadap perubahan itu. Bukan normanya saja yang harus kita ketahui,” kata Janejdri.

Dijelaskan Janedjri, yang dimaksud dengan perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara peserta dan penyelenggara, dalam hal ini KPU, mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU.

Sementara para pihak dalam perkara PHPU adalah hal baru. Bahwa para pihak dalam perkara PHPU nanti, sesuai putusan MK, maka perseorangan calon anggota DPR dan DPRD diberi legal standing. Begitu juga untuk perseorangan calon anggota DPRA dan DPRK, diberi legal standing untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah, bersengketa sesama calon dalam satu parpol di dapil yang sama. Namun ada persyaratan, dalam Peraturan MK diatur bahwa perseorangan calon anggota DPR, DPRD serta DPRA dan DPRK dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu apabila telah memperoleh persetujuan secara tertulis dari DPP parpol.

“Permohonannya itu harus diajukan oleh DPP parpol yang bersangkutan. Ini yang harus dipahami. Artinya apa? Nanti ketika Saudara-Saudara menerima permohonan yang diajukan parpol, di dalamnya akan dijumpai kemungkinan permohonan perseorangan calon anggota DPR dan DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota. Namun harus dilakukan verifikasi terhadap permohonan itu. Apakah permohonan perseorangan itu sudah mendapatkan persetujuan tertulis dari DPP parpol. Persetujuan tertulis itu ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal,” papar Janedjri.

Berikutnya, untuk Pihak Terkait yang berkepentingan dengan permohonan Pemohon. Apabila ada perseorangan calon anggota DPR dan DPRD provinsi, kabupaten/kota, serta DPRA dan DPRK akan menjadi Pihak Terkait, yang bersangkutan harus mendapat persetujuan secara tertulis dari DPP parpolnya dan harus diajukan DPP parpolnya.

Selanjutnya, ungkap Janedjri, ada pihak baru dalam Peraturan MK yakni pemberi keterangan, dalam hal ini Bawaslu. Mahkamah Konstitusi dapat memanggil Bawaslu untuk diminta keterangan terkait penyelenggaraan Pemilu.

Kemudian yang perlu dipahami bersama, ada sedikit perubahan dari Pedoman Beracara yang lama. Pertama, untuk tata cara pengajuan permohonan. Permohonan ini diajukan oleh peserta Pemilu setelah pengumuman penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional oleh KPU.

 

“MK memberi ruang dan waktu kepada Pemohon, apakah itu parpol nasional, parpol lokal maupun perseorangan calon anggota DPD bisa menyampaikan permohonannya secara online atau melalui email atau faksimil. Tetap aturan mainnya 3 x 24 jam, ini artinya MK harus mempersiapkan permohonan online, email, bahkan faksimil. Kita sepakat permohonan online sangat sederhana, tidak usah neko-neko, hanya sekadar mengajukan permohonan,” urai Janedjri.

 

“Aturan 3 x 24 jam dihitung dari ketika dia menyampaikan permohonan melalui online, email bahkan faksimil,” tambah Janedjri.

Selain itu, permohonan harus ditandatangani oleh kuasa hukum, dilampirkan surat kuasa yang ditandatangani ketua umum dan sekjen serta yang diberi kuasa. (Nano Tresna Arfana/mh)

 

Source: Laman Mahkamah Konstitusi