Bimtek PHPU Legislatif bagi PBB, Peserta Dibekali Materi Independensi dan Imparsialitas Peradilan
Lembaga peradilan saat ini tidak cukup dijalankan dengan prinsip persamaan dan kebebasan, tetapi juga harus dijalankan dengan tata kelola pemerintahan yang baik, di mana harus ada prosedur yang baik dalam lembaga peradilan. Dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik pula muncul hak warga untuk memaksa suatu lembaga untuk melaksanakan tata kelola yang baik. Namun demikian, sebagai lembaga peradilan harus dilepaskan dari tata pemerintahan itu. Hal itu diperlukan agar lembaga peradilan tidak terpengaruh dari lembaga-lembaga kekuasaan yang lain.
Hal tersebut disampaikan oleh M. Guntur Hamzah, Kepala Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Teknologi Informasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi (MK), dalam kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2014 bagi Partai Bulan Bintang (PBB), di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi MK, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Rabu (05/02/2013).
Lebih lanjut Guntur menjelaskan, dalam ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, Komisi Yudisial (KY) memang diposisikan untuk mengawasi Mahkamah Agung (MA), sementara MK tidak diawasi, melainkan dijaga, hal ini dikatakan tegas oleh UUD 1945, karena syarat utama hakim konstitusi adalah negarawan, meski faktanya berbeda. Dengan kata menjaga, maka harus dimaknai antara yang menjaga dan yang dijaga sebagai satu kesatuan, ibarat keluarga yang menjaga anggota keluarga lainnya. Oleh sebab itu MK memutus bahwa kewenangan KY untuk mengawasi MK bertentangan dengan konstitusi.
Guru Besar Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Hasanudin Makassar itu juga mengatakan, selama ini MK sudah berupaya membangun dirinya sebagai lembaga peradilan yang modern yang terpercaya, bahkan dari segi kelembagaan, M RI termasuk kedalam 10 besar MK terbaik di dunia, selain itu MKRI juga menjadi acuan MK lain di seluruh dunia.
Selain itu, Guntur menjelaskan upaya MK dalam mewujudkan prinsip transparansi lembaga peradilan, dengan membuat sistem agar setiap putusan dapat langsung diketahui oleh publik di seluruh dunia sesaat setelah putusan dibacakan. Selain itu MK juga menyediakan fasilitas video conference untuk mempermudah akses masyarakat dalam memperoleh keadilan.
Dalam sesi diskusi, Guntur menjelaskan MK tidak memiliki kepentingan dengan kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilukada. Menurutnya, yang menentukan kewenangan itu sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku pembentuk undang-undang (UU). MK dan hakim Konstitusi sudah berupaya untuk menjaga kode etik, bahkan MK melakukan penandatanganan nota kesepahaman kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, latar belakang selain politisi tidak menjamin masalah yang terjadi di MK tidak terulang kembali. “Jangan karena ada hakim konstitusi yang memiliki latar belakang politisi lalu dilarang untuk menjadi hakim konstitusi,” kata Guntur.
Lebih lanjut dijelaskan Guntur, tujuan diklat ini agar tugas MK menjadi ringan, dengan memberikan kesadaran kepada partai politik peserta Pemilu untuk dapat menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu sejak awal. Namun demikian berperkara di MK merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara. (Ilham/mh)
Source: Laman Mahkamah Konstitusi